Search this blog

Mar 19, 2011

Umat Buddha; Aktif atau Pasif? 3/5

Kuala Lumpur, Jan 13, 2003

Cerita ini saya dengar dari Bhikkhu Aggacitta, pendiri Sasanarakkha-pusat
pelatihan bhikkhu di malaysia, sewaktu Buddhist Global Conference di Shah Alam. Sasanarakkha berlokasi di sebuah hutan, dekat Taiping, Perak, Malaysia. Untuk details tentang sasanarakkha, bisa check di http://www.sasanarakkha.org/

Bhante Aggacitta mengadakan survey tentang apa yang umat buddha malaysia
harapkan dari Bhikkhu. Berbagai pilihan yang ada; bhikkhu lebih sering
memberikan ceramah dhamma, bhikkhu melaksanakan sila kebhikkhuan dengan baik, bhikkhu memberikan sosial servis, etc. Hasil dari survey itu, mungkin mengagetkan bagi sebagian umat, karena mayoritas umat buddha di malaysia menginginkan bhikkhu agar melaksanakan sila kebhikkhuan dengan baik.

Sehubungan dengan survey tersebut; ada seorang umat yang bertanya dalam sesi tanya jawab; APA YANG BHIKKHU HARAPKAN DARI UMAT BUDDHA?
Bhante Aggacitta, tidak menjawab pertanyaan tersebut secara langsung, tetapi
sebaliknya beliau malah bercerita tentang seorang umat buddha senior dari
Sarawak yang berkunjung ke Taiping, Perak. Seperti yang pernah diberitakan di
koran-koran, di malaysia, banyak sekali 'bhikkhu-bhikkhu palsu' yang berkeliaran di jalanan, membawa mangkok pindapata. Mereka berdiri di pinggir jalan, dengan mangkok di arahkan ke orang yang lalu lalang di pusat perkotaan ataupun di sekitar rumah-rumah penduduk dan tempat penjualan makanan. Mereka bukanlah bhikkhu yang sebenarnya, bahkan kalau ada yang bertanya tentang dhamma, mereka tidak tahu sedikitpun. Sangha Malaysia berusaha untuk mengambil tindakan hukum tentang hal ini, tetapi akhirnya dibatalkan karena takut menganggu image bhikkhu secara umum. Artikel tentang bhikkhu palsu inipun akhirnya diterbitkan di The Star, salah satu koran terbesar omzetnya di malaysia.
Anyway, kembali ke umat buddha senior dari sarawak ini, sebut saja Sarawakian.
Sarawakian ini, berkunjung ke sasanarakkha dan melihat banyaknya bhikkhu palsu di Taiping, akhirnya memutuskan untuk memberikan bimbingan dan penerangan kepada umat buddha di Taiping tentang sila-sila kebhikkhuan dan kegunaan dari mangkok pindapata. Bahwa bhikkhu yang 'benar' akan berada di tempat yang terlindung setelah matahari terbenam, bahwa mangkok pindapata haruslah diisi makanan, bukan uang, bahwa bhikkhu tidak berbisnis gelang yang boleh ditukar dengan uang (kalau kita berdana RM 10, terkadang 'bhikkhu palsu' ini memberikan gelang sebagai hadiah :-)). Akhirnya, lambat laun, 'bhikkhu-bhikkhu palsu' pun menghilang dari kota Taiping. (Mungkin karena sumber mata pencahariannya sudah tidak ada lagi, tidak ada yang memberikan uang, maka mereka pun menghilang). So, kalau ada yang kalian yang berkunjung ke Malaysia dan melihat banyak bhikkhu-bhikkhu palsu yang
berkeliaran di pusat pertokoan, jangan memberi uang. Berilah makanan. Or,
menurut bhante Dhammaratana dari Brickfields, Maha Vihara, 'simply ignored them' (cuek-kin aja lah......).

Kembali ke cerita Bhante Aggacitta tentang Sarawakian ini, walaupun bhante tidak menjawab pertanyaan tersebut secara rinci; menurut saya, mungkin Bhante juga ingin agar umat buddha membantu membenarkan persepsi-persepsi salah yang ada di sekeliling kita tentang Buddhism. Terkadang, untuk mengatakan sesuatu secara terbuka, apalagi dalam konferensi yang dihadiri kurang lebih 1000 peserta, dengan cerita-cerita nyata lebih berkesan, daripada sekedar kata-kata nasehat ataupun petuah.


Regards,
Jenty

No comments:

Post a Comment