Search this blog

Mar 20, 2011

Are you ready to face the sunsets?

Jakarta, February 12, 2006

Rasanya saya ingin menulis sedikit tentang tentang apakah anda sudah siap menghadapi matahari terbenam?

Versi saya; apakah kita sudah siap menghadapi kematian? Bagaimana dengan keluarga yang kita tinggalkan, apakah mereka bisa bertahan hidup tanpa kita?
Sangat menyedihkan ketika melihat persembahan makanan yang dilakukan untuk anggota keluarga saya yang baru meninggal tahun lalu dan membayangkan; bahwa ada kemungkinan bahwa suatu saat ada kemungkinan saya juga akan dilahirkan di alam kehidupan yang rendah dan memerlukan makanan-makanan tersebut.
Hal ini yang memberikan saya semangat, ketika badan sudah capek, tetapi masih semangat untuk melakukan ini dan itu. Walaupun saya tidak mengharapkan balas jasa tetapi semangat bahwa kita melakukan sesuatu yang berguna, itu sudah lebih dari cukup.
 
Saya sendiri, awalnya sempat terbebani dengan kehadiran anak saya karena kesempatan saya untuk berlatih menjadi lebih sedikit dan harus diakui bahwa bermain bersama anak saya lebih menyenangkan daripada meditasi yang sebentar-sebentar diganggu sama dia......dan diajak bermain bola.
Tetapi setelah membaca pengalaman seorang ibu di Eastern Horizon versi Bahasa Indonesia tentang kesulitan dia sebagai ibu dan kesempatan berlatih; mendadak saya seperti dicerahkan.... ternyata ada juga yang punya pengalaman sama dengan saya. Artikel lengkapnya mungkin bisa di google atau contact penerbit karaniya, saya sudah lupa edisi yang mana. 
 
Mengenai menabung dan asuransi; mampu atau tidak mampu itu sangat relatif, tergantung life style anda. Lakukanlah kedua hal tersebut, bila tidak ingin menjadi belas kasihan dari orang lain. Bila kita tidak menabung, kita akan menjadi beban orang lain ketika musibah itu datang, dan hal ini tidak bisa kita prediksi sebelumnya.
Tentunya akan lebih baik lagi kalau kita sudah mampu mensupport diri kita sendiri, bukankah lebih baik memberi daripada meminta?
 
Untuk asuransi, banyak jenis dan macamnya; ada 3 hal yang perlu kita teliti sebelum membeli;
 
Pertama; cari perusahaan yang solid yang mampu membayar klaim kita pada saat kita teramat membutuhkannya.
 
Kedua; lihat laporan keuangannya, bagus atau tidak, ini bisa umumnya dipublikasikan di media massa, umumnya di kompas (hanya perusahaan bagus yang berani mempublikasikan laporan keuangannya di kompas, sementara kalau dipublikasikan di pos kota, don't even bother).
 
Ketiga; cari agen yang bagus yang bisa membantu memberikan solusi atas masalah kita, bukan sekedar menjual saja dan berkoar-koar tentang produknya; belum tentu apa yang dijual sesuai dengan kita. Karena harus diakui produk asuransi juga banyak sekali.
 
Kalau bingung mau menghubungi siapa, mungkin saya bisa membantu.

Hidup Cukup

Jakarta, February 11,2006.

Sering merasakan bahwa kita selalu ingin mendapatkan lebih dan lebih banyak uang lagi dan terkadang bingung dengan kata cukup? Dititik manakah kita perlu berhenti dan mulai menikmati hidup kita?
Saya ingin berbagi dengan teman-teman mengenai “hidup cukup” dari sudut perencanaan keuangan keluarga.
Kita bekerja keras untuk mencari sandang dan pangan. Kita juga harus memproteksi sandang kita. Caranya? Membeli asuransi untuk melindungi rumah dan mobil agar kalau terjadi musibah, kantong kita aman dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Apa saja bisa terjadi, bahkan benda dari langit saja bisa jatuh dan menimpa rumah kita. Kalau tidak ada asuransi rumah, habislah, untuk membangun rumah kembali memerlukan uang yang lumayan, bisa menguras tabungan. Sementara mobil? Mobil teman saya yang lagi parkir dipinggir jalan, tiba-tiba ditimpa pohon yang tumbang, langsung mobilnya berubah wujud, jadi “penyot”.Untuk melindungi pangan, kita harus memproteksi pendapatan kita; dengan membeli asuransi yang mengcover sakit kritis (ini yang paling banyak menghabiskan tabungan, hasil kerja keras bertahun-tahun), cacat tetap total, kecelakaan dan meninggal dunia. Setelah ini terpenuhi, barulah kita menabung. Kenapa? Karena bila terjadi musibah tersebut diatas, kita tidak mampu bekerja lagi dan gajipun tidak akan diterima, akan sulit melanjutkan gaya hidup yang sama.
Teman saya, usia 35 tahun, dideteksi menderita kanker, dan karena tidak punya asuransi, harus menjual rumah dan mobil.
Beberapa teman Buddhis saya mengatakan bahwa sebagai umat Buddha, kita tidak perlu beli asuransi karena karmalah yang menentukan semuanya. Hmm, menurut saya, karmalah yang membawa kalian bertemu dengan penjual asuransi.
Cara menghitung kebutuhan asuransi jiwa secara umum adalah sederhana. Umumnya yang saya gunakan adalah 20 tahun perlindungan biaya hidup. Misalnya biaya hidup bulanan adalah Rp 5 juta/bulan x 1 tahun = Rp 60 juta. Bila kita ingin melindungi biaya hidup kita selama 20 tahun, dengan asumsi pada saat itu, anak kita sudah mandiri dan mampu menolong menopang biaya hidup orang tua, Rp 60 juta x 20 = Rp 1.2 Miliar. Setelah itu barulah kita menghitung premi asuransi yang harus dibayar karena saat ini, jenis asuransi sangat beragam dan umumnya para pembeli tidak mengerti apa yang mereka beli, makanya mereka sangat bergantung pada sales asuransi. Kalau butuh bantuan, bisa menghubungi saya untuk konsultasi, untuk mendapatkan perspektif yang berbeda dengan agen anda.
Besarnya tabungan yang diperlukan dan nilai asuransi yang kita inginkan, itu bisa dihitung berdasarkan kebutuhan kita saat ini dan life style kita. Untuk asuransi, seringkali banyak client yang underinsured (nilai asuransi yang mereka beli, tidak cukup untuk mengcover kebutuhan mereka), walaupun ada juga sebagian yang over insured.
 (karena punya uang lebih, akhirnya membeli asuransi terus menerus, padahal kebutuhannya terbatas di level tertentu saja).
Dana tunai itu penting, karena seringkali banyak sekali hal tidak terduga yang memerlukan uang dalam waktu cepat. Dan selanjutnya tabungan, kita harus menabung di instrumen tabungan yang bisa MENGALAHKAN inflasi. Misalnya kalau inflasi adalah 5%, sementara bunga bank berkisar 2%, tabungan kita akan tidak banyak berarti karena akan habis digerus inflasi. Kita harus meng-investasikan uang kita di instrumen yang bisa menghasilkan bunga 12-15%. Saya sendiri memilih reksa dana saham dari perusahaan yang memiliki reputasi bagus selama 5 tahun terakhir.
Tabungan sebesar 3 bulan gaji diperlukan, untuk menjaga-jaga kemungkinan kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dana cadangan ini juga bisa dihitung dari biaya hidup, setidaknya minimum 6x dari total biaya hidup bulanan. Hal ini penting karena ketika terjadi hal yang tidak kita inginkan, seperti PHK atau perusahaan bangkrut, etc, setidaknya kita masih bisa bertahan hidup sambil mencari pekerjaan yang baru atau memulai bisnis baru.
Kesalahan yang sering client saya lakukan adalah tidak memiliki cash yang cukup untuk “rainy days” dan menginvestasikan uangnya di property. Property tidak liquid, terkadang lebih mudah pada saat membeli tetapi ketika butuh uang dan mau dijual, tidak ada pembeli yang berminat.
Selain tabungan secara materi, tabungan dalam bentuk lain juga diperlukan. Mengutip kata Sayalay Dipankara, kita harus “ready to face the sunsets”. Katanya, ini asuransi untuk kehidupan kita di masa mendatang.
Dan ajahn Brahm pernah berkata bahwa “hidup itu harus berkecukupan hati” karena berapapun itu, tidak akan pernah cukup……

PF: Artikel ini pernah saya tulis di milis ramu_dharmajala yang kemudian diforward ke milis dharmajala oleh teman saya.
Profesi saya adalah perencana keuangan. Awal January 2010, saya mendapatkan gelar CFP® (Certified Financial Planner), sertifikasi untuk para perencana keuangan.

Live Happily Ever After, Mungkinkah Itu?

Jakarta, November 19, 2007

Kebanyakan dari kita, menginginkan sebuah pernikahan yang bahagia, mapan secara keuangan, dengan anak yang lucu-lucu dan pintar-pintar, tetapi kenapa tidak semua pernikahan berakhir dengan suka cita?
Mungkin diantara kita mengetahui banyak pasangan suami-istri yang bercerai. Kebanyakan karena cinta yang dulunya ada kini sudah pudar karena berbagai masalah yang ada. Apa sih yang salah, yang mampu memisahkan sepasang suami istri yang dulunya saling mencinta?
Kenapa masalah keuangan sering menjadi pemicu perceraian? Pengelolaan keuangan yang baik itu seperti apa?
Di jaman sekarang ini, perlukah bagi seorang istri untuk selalu bangun lebih pagi dan tidur lebih lambat daripada suami, untuk memastikan agar semua urusan rumah tangga berjalan dengan baik?
Sebagai suami yang baik, perlu gak sih sampai kita harus memberikan uang belanja  kepada istri untuk belanja tas mahal seperti tas LV?
Bila suami mesti membantu adik-adik dan orang tuanya, istri juga harus mengirim uang bulanan kepada orang tuanya, ada jumlah yang disarankah gak sih, berapa yang harus dikirim?
Seringkali kita bingung, apa sih yang harus dilakukan, karena tidak adanya bimbingan yang jelas dan juga tidak ada tempat bertanya. Konsultasi kepada teman dekat dan keluarga, seringkali malah menjadikan masalah semakin berbelit-belit karena ada unsur keterlibatan secara emosi, karena mereka pasti akan sulit untuk berpikir secara adil.
Terkadang juga suami istri bisa bertengkar karena urusan mertua. Sampai dimana batas baik dan buruknya? Harus bertanya pada siapa?
And, benarkah pacar kita saat ini, merupakan calon terbaik yang kita pilih untuk menjadi suami/istri kita? Dapatkah jawabannya dengan mengikuti bimbingan pra nikah yang diadakan minggu depan ini. Jangan sampai kelewatan.

Dulu, saya dan suami saya, perlu waktu 6 tahun, sebelum memutuskan untuk menikah. Ragu-ragu terus dan juga tidak ada tempat bertanya. Kalau ada seminar seperti ini, mungkin akan sangat membantu kami dalam mengambil keputusan.
Pusdiklat ABI, MBI dan WBI  Pusat mengadakan bimbingan pra nikah, yang akan diadakan selama 2 hari  pada tgl 24-25 November, 2007, jam 08.30am sd 5pm di Ekayana Buddhist Center. Biaya Rp 100,000 per pasang(untuk biaya makalah dan pengganti makan siang dan snacks selama 2 hari).
Saran saya, daftar aja, jadi peserta, dengerin, tidak hanya mereka yang sudah menentukan wedding date yang harus mengikuti kursus ini, tetapi pasangan yang sudah terpikir untuk menikah juga boleh ikutan, sekalian belajar.
Catatan kaki:
Email ini saya tulis dan posting di milis dharmajala, dalam rangka membantu program suami saya memperkenalkan "Bimbingan Pra Nikah". Suami saya waktu itu menjabat sebagai koordinator seksi pendidikan di MBI Pusat. Program ini sampai sekarang masih berlangsung, untuk yang berminat, mungkin bisa menghubungi MBI Pusat.

To help people is not just about raising money

Gading Serpong, 27 April 2008
 
 
Dalam acara Idol Gives Back, awal April 2008 yang lalu, Brad Pitt berkata (lebih kurang yang nyantol di ingatan saya) "To help people is not just about raising money. But we need to get out of our comfort zone to feel their sufferring"
 
Mungkin yang dimaksud adalah, kalau kita keluar dari zona nyaman kita, menjadikan mereka sebagai teman mereka dan berbincang dengan mereka, membantu mereka, barulah perbuatan baik itu menjadi sempurna.
Seringkali kita lebih suka cara mudah dan convenient, "Perlu uang berapa, sini saya transfer, kasih saja no rekeningnya berapa..."  Sounds familiar?
 
Bantuan itu akan lebih mengena di hati kalau "we actually took the time to know the people and merasakan betapa bantuan itu begitu berarti bagi mereka, penderitaan kita sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka".
 
Ketika berbincang-bincang dengan ibu-ibu dari POS Daya di Bogor, February 2008 yang lalu, mereka mengkoordinir dana bantuan, menyumbangkan dana makanan untuk anak-anak kampung, mungkin sebatas susu dan kacang hijau. Bahwa perbaikan gizi 1 minggu, kalau dilakukan selama 20 minggu, itu lebih berarti, karena mencegah lebih baik daripada ketika terjadi sakit, barulah kita mencari dana untuk membantu mereka. Mungkin ibu-ibu yang membaca email ini, bisa membantu mengkoordinir pemberian bantuan di daerah masing-masing.
 
Ada banyak perdebatan antara ajaran Buddha dan agama lainnya, saya pikir kita juga harus mengambil nilai positif dari agama lain, misalnya perpuluhan. Mungkin tidak kita ambil mentah-mentah tetapi kita modifikasi sedikit.
Misalnya umat Buddha yang mampu, menyumbangkan 10% dari penghasilan mereka untuk membantu umat Buddha yang tidak mampu. Kedua pihak akan merasakan kebahagiaan. Yang satu bahagia karena telah memberi, yang satu lagi merasa berbahagia karena menerima. Sebentar lagi Waisak, mungkin teman-teman bisa koordinir sendiri-sendiri antar kelompok, membantu umat Buddha yang kurang beruntung agar bisa merayakan Waisak tanpa harus kelaparan karena harga beras sudah mulai naik. Waisak adalah tentang sebuah hati yang tulus, bukan hanya sekedar upacara ceremonial.
 
Selamat berdana.

Motivasi menjadi sukarelawan

Jakarta, May 13, 2009

Sebagai sukarelawan di vihara, terkadang saya mengamati bahwa kita semua yang
terdorong untuk menyumbangkan tenaga dan kerja sosial, semua memiliki tujuan
mulia untuk saling membantu. Tetapi, terkadang, sepanjang perjalanan kita
melakukan pekerjaan sosial, sering terjadi benturan-benturan kecil yang
mendorong ego kita untuk naik keatas. Mulailah dengan komplain-komplain kecil,
"dia menyakiti saya, dia tidak menghargai saya, etc".

Usia saya sekarang 36 thn. Banyak kepahitan dalam hidup saya. Latar belakang
keluarga saya, orang tua saya bercerai ketika saya masih SD, juga mempengaruhi
cara pandang saya akan kehidupan. Kalau saya tidak cerita, mungkin teman-teman semua akan berpikir bahwa hidup saya baik-baik saja.

Demikian juga orang-orang di luar sana, sebagian juga mereka yang aktif di
vihara, banyak kepahitan mereka yang tidak kita mengerti. Karena kita tidak
pernah berusaha mengerti mereka lebih dalam lagi, kita terlalu sibuk dengan diri
kita sendiri. Kepahitan itulah yang melandasi semua tindakan mereka. Ketika
mereka melakukan hal yang tidak kita sukai, seperti kata Sis Chan Kong di retret tentang mindfullness, itu adalah stored consciousness yang tertimbun di otak mereka, sebagai hasil dari pengalaman mereka di masa lalu.

Kita harus mengerti bahwa kita masing-masing punya luka batin. Dengan latihan
yang mendalam, kita berusaha mengurangi ego kita, berusaha mengerti orang lain.
Banyak aktivis di lingkungan vihara yang saya kenal baik dan terkadang saya
tidak selalu sepaham dengan mereka dan terkadang mendorong saya untuk melakukan konfrontasi. Tetapi saya berusaha untuk mengerti bahwa kita semua bersama-sama berusaha melakukan hal yang baik dan tujuan bersama itulah yang saya lihat.

Walau kadang tidak sepaham, saya berusaha menyediakan telinga saya, untuk
mendengarkan keluhan-keluhan mereka. Itu adalah latihan bagi saya. Sebagian dari
keluhan itu juga menangis meminta perbaikan sikap dari saya yang bagi mereka,
kurang sesuai, etc...

Jadi, saya tidak pernah fokus pada penderitaan saya karena saya tahu semua juga
menderita. Kita berusaha mencari sedikit kebahagiaan dengan berbagi sebagian
kecil dari kita, sebagian kecil dari tenaga kita.

Dulu saya menyediakan waktu saya untuk keluarga, teman-teman dekat dan pekerjaan saya, itu saja. Ketika saya pikir kembali, kalau saya mau, saya bisa menyisihkan sedikit waktu lagi, untuk kerja sosial bahwa hidup ini harus diisi dengan hal-hal yang berguna bagi orang lain. TIdak hanya memikirkan diri kita sendiri. Kemauan itulah yang membuat saya tetap bertumbuh, walaupun juga banyak rintangan, terkadang hinaan juga, tetapi saya anggap itu bagian dari latihan
saya. Itu juga terkadang yang membuat kita bahagia, karena berusaha mengerti
orang lain.

Sampai hari ini, saya merasa belum melakukan hal yang maksimal, tetapi saya selalu dan akan tetap berusaha menjadi lebih baik.

In memoir: Sandy 10 thn

Jakarta, October 29, 2008

Part 1: Email ini saya kirim setelah selesai survey kondisi Sandy. Berkat dukungan teman-teman, kami berhasil mengumpulkan dana utk membantu biaya obat-obatan yang diperlukan oleh Sandy dan juga membelikan makanan bergizi untuk Sandy.

Hari itu, 29 Oktober 2008, saya bertemu dengan keluarga Vandana Putra (Sandy) di depan lobby RS Jantung Harapan Kita. Sandy juga ada bersama mereka.
Sandy adalah anak usia 10 thn yang menderita kelainan jantung bawaan, sejak lahir.
Walaupun sudah mendengar tentang kondisi Sandy, saya agak kaget juga ketika bertemu Sandy. Mukanya pucat, matanya merah dan bibirnya sudah mulai membiru. Harusnya hari ini Sandy akan dioperasi tetapi karena Sandy batuk-batuk dan menurut dokter ada sedikit infeksi, operasi ditunda sampai dengan hari Minggu, 2 November 2008.
 
Menurut Suzana, yang selama ini selalu membantu keluarga Sandy; akan dilakukan operasi bypass jantung. Karena keluarga Sandy adalah keluarga miskin, mereka mendapatkan kartu jaminan kesehatan masyarakat dari pemerintah. Mereka dibebaskan dari biaya rumah sakit, mencakup biaya operasi, biaya kamar dan biaya lain-lain, kecuali obat-obatan. Obat-obatan harus dibeli sendiri dan kemungkinan besar biayanya bisa mencapai Rp 30-50 juta, tergantung situasi pada saat itu, apakah operasi berjalan dengan lancar, ada komplikasi atau tidak.
Operasi bypass jantung adalah operasi besar dan kami senang juga mendengar bahwa semua akan ditanggung oleh pemerintah.
 
Akan tetapi, obat-obat yang diperlukan untuk mendukung operasi itu cukup mahal karena semuanya merupakan obat patent dan belum ada versi generiknya (info ini menurut dokter Poppy yang merawat Sandy, dokter ini telah merawat Sandy sejak 10 thn yang lalu, ketika Sandy masih bayi sampai saat ini).
 
Teman-teman yang baik hati, kami ingin membantu Sandy supaya bisa sembuh dan untuk itu kami butuh support dari teman-teman sekalian.
Kami dari Dana Kemanusiaan Dharmajala akan membuka kotak dana untuk Sandy, mengumpulkan dana agar Sandy bisa sembuh. Selama ini, Sandy sering kecapekan, kalau jalan tidak bisa lama, harus duduk dan tidak leluasa bersosialisasi seperti anak seusianya.
Operasi bypass jantung sudah cukup umum dilakukan dan tingkat keberhasilan selama ini cukup tinggi. Kemurahan hati teman-teman akan membantu kesembuhan Sandy.
 
Dalam hal penyaluran dana, DKD akan dibantu oleh Suzana, sukarelawan yang membantu keluarga Sandy selama ini. Mereka tinggal di daerah Cikarang. Obat-obatan harus dibeli dengan sistem cash karena mereka menggunakan fasilitas kartu JAMKESMAS. Penyaluran dana akan dibantu oleh Susan (panggilan Suzana), semua data pengeluaran uang akan direcord, untuk kemudian diserahkan kepada DKD.
 
Teman-teman, Sandy pantas kita bantu. Selain umurnya yang masih muda, daya juangnya juga luar biasa. Sandy sempat murung 2 hari ini karena takut. Kami berhasil memberikan keyakinan kepada Sandy bahwa prosedur yang harus dijalani adalah prosedur normal yang sudah sering dilakukan oleh pasien lain yang tingkat kesuksesannya cukup tinggi. Tetapi tetap saja, Sandy butuh support berupa obat-obatan.


Jakarta, November 21, 2008

Part 2: Email ini saya kirim ke milis ketika Sandy meninggalkan kita semua.

Teman-teman, Sandy sudah tiada. Tepatnya kemarin sore, jam 3.30pm. Terjadi pendarahan hebat waktu dibedah dan jantungnya lengket. Supaya pendarahan tidak menyebar dokter memutuskan menutupnya kembali tapi hanya kulitnya saja yang ditutup, setelah itu kondisinya kritis di ruang ICU.  Akhirnya Sandy tidak kuat lagi dan meninggalkan kita semua.
 
Saya ingin berbagi cerita tentang Sandy. Ketika pertama kali bertemu dengan Sandy, saya terkejut melihat bibirnya yang memucat kehitaman, matanya yang merah dan cekung. Jantung Sandy berlubang, jadi antara darah bersih dan darah kotor sudah bercampur. Itu juga yang menyebabkan bibirnya kehitaman. Sandy tersenyum malu-malu. Ketika saya jabat tangannya dan saya ajak makan donat, Sandy dengan gembira memilih donat kesukaannya dan makan seolah-olah itu donat paling lezat di dunia. Keceriaannya sudah memotivasi saya untuk mencarikan dana agar Sandy bisa sembuh.
 
Sandy ingin menjadi pemain sepakbola karena selama ini Sandy hanya bisa menyaksikan dari kejauhan ketika teman-temannya bermain sepakbola. Sandy takut menjalani operasi bypass karena takut sakit, takut tidak bisa sembuh lagi. Tapi akhirnya Sandy membulatkan tekad menjalankan operasi karena dengan operasi itu ada 2 pilihan yang didapat; menjadi lebih baik atau tidak berhasil. Pada hari Kamis, 20 November 2008, pagi harinya sebelum operasi, Sandy sangat riang, bersikeras untuk mandi sendiri dan senyum terus. Pada teman sekamarnya yang juga harus dioperasi, Sandy mendoakan agar anak itu bisa sembuh. Ketika perawat mendorong ranjang Sandy menuju kamar operasi, Sandy tersenyum dan bilang, "yes, merdeka..........."
Saya tidak tahu, apakah merdeka itu maksudnya bahwa Sandy akan merdeka dari semua penderitaannya sebagai anak kecil yang menderita kelainan jantung bawaan....
 
Sandy.... anak itu tidak pernah mengeluh. Hari itu, ketika kami berjalan dari lobby rumah sakit, mencari tempat duduk agar bisa ngobrol, Sandy berjalan dengan pelan dan sedikit-sedikit berhenti, karena capek. Sandy telah hidup dengan kelainan jantung ini sejak kecil dan sudah terbiasa. Saya berusaha menyembunyikan rasa iba melihat keadaannya. Sedih sekali.
 
Teman-teman, belajar dari Sandy, kita semua harus tetap berjuang untuk hidup. Hidup ini penuh dengan masalah, penuh dengan konflik. Kita tidak boleh lari dari masalah. Masalah itu harus dihadapi. Sandy memilih menghadapi meja operasi dengan harapan setelah sembuh bisa menjadi pemain sepakbola. Sayangnya semua tidak berjalan seperti apa yang diinginkan Sandy. Saya berharap, dengan kebaikan hatinya selama ini, Sandy dapat terlahir kembali sebagai manusia dan memiliki kesempatan untuk mengejar impian-nya.
 
Suzan bilang bahwa wajah Sandy ketika meninggal sangat bagus. Tersenyum.
Sandy akan dikubur hari ini di pemakaman cikarang jam 11am. Para donatur mendapatkan ucapan terima kasih atas perhatiannya kepada Sandy. Semoga Sandy terlahir kembali ke alam yang lebih baik, semoga Sandy berbahagia.
Suzan sangat baik hati, telah membantu keluarga Sandy dan menjaga Sandy dengan penuh kasih, seperti anaknya sendiri. Suzan, kalau sempat baca email ini, jangan sedih lagi ya, Sandy kecil telah memberikan banyak inspirasi pada kita semua. Sandy yang tabah, sandy yang tidak pernah mengeluh, sandy yang doyan makan....(apa juga Sandy makan, sate, donat, suzan yang paling tahu).
 
Mari kita semua, bersama-sama melakukan pelimpahan jasa kepada Sandy, atas semua perbuatan baik yang kita lakukan hari ini, Jumat, 21 November 2008, hari dimana jenazah Sandy akan dikuburkan di pemakaman cikarang.

Bekerja di perusahaan "yg tdk sesuai dg nurani kita"

Jakarta, September 9, 2004

Suatu kesempatan di tahun 2002 waktu ada seminar sehari di Petaling Jaya;
Saya pernah bertanya pada Ajahn Brahm tentang sahabat Buddhis saya yang
memutuskan menjadi nelayan karena gagal berkali-kali di bidang usaha lain. Ajahn Brahm mengatakan bahwa bidang ini tidak baik karena karma yang dihasilkan berat. Ajahn juga melanjutkan bahwa sebaiknya mencari bidang yang lain atau perbanyak berbuat kebaikan agar dapat mengurangi karma tidak baik tersebut.

Setiap orang punya prinsip sendiri.
Saya, (dengan tidak berusaha menghakimi yang lain), memilih untuk tidak bekerja di perusahaan yang memperjualbelikan makhluk hidup, tidak ingin terlibat di perusahaan rokok dan bir; karena alasan pribadi.

Setiap orang punya pilihan sendiri. Jika anda merasa apa yang anda lakukan
benar, teruskanlah...
Tetapi jika terbersit keraguan, bertanyalah pada mereka yang lebih arif. Mungkin para bijaksana yang lebih tahu bisa membantu. Seperti teman saya yang ragu akan profesinya sebagai nelayan. Saat ini setahu saya dia
masih menjadi nelayan, tetapi dijalani dengan penuh kesadaran akan karma yang harus ditanggungnya.

Sama juga dengan beberapa dari kita yang masih sering memukul nyamuk 'dengan penuh kesadaran' :-), karena tidak ingin digigit nyamuk.

Tentang anak-anak dan binatang

Jakarta, September 17, 2004

Mencetak buku dan membagikan ke Vihara buku-buku bergambar hewan adalah ide yang bagus agar anak-anak kita lebih mencintai binatang.
Tetapi hal yang lebih sederhana lagi adalah mendidik mereka agar mencintai
binatang yang ditemui sehari-hari di lingkungan mereka.

Anak saya, Dhilan, sekarang 11 bulan (sekarang tumbuh sehat dan tumor yang ada di kepalanya hanya meninggalkan bekas putih; thanks untuk email dari rekan2 yang sangat perhatian), masih kecil kalau menurut ukuran kita, tetapi ketika melihat semut yang berkeliaran di lantai, dia bisa mengejar semut dan berusaha untuk dijadikan mainan, ditekan dengan telunjuk dan matilah semut itu...
Keponakan saya, Yang-Yang, 20 bulan, bisa menjambak rambut anjing yang tidak bersalah yang ada di rumah neneknya.

Mereka memang masih kecil tetapi karena masih kecil itulah, bisa diajarkan untuk menyayangi binatang.

Saya bekerja di rumah dan mempunyai baby sitter yang menjaga anak.
Karena bekerja di rumah saya bisa mengawasi anak saya dan juga 'mengawasi' baby sitter-nya. Setiap anak saya tidak mau makan, maka dia akan menakut-nakuti dengan binatang cecak. Kalau begini caranya, bagaimana mungkin Dhilan bisa menyayangi binatang? Semut dikejar dan dikerjain, cecak ditakuti. Terus kalau Dhilan nakal, baby sitternya akan memanggil dengan kencang "Dhilaannnnnnnn". (Itu karena saya ada di rumah, gak kebayang kalau saya gak dirumah, anak saya diapain yach.......)

Menurut Ahli; Anak kecil yang sering ditakut-takutin akan tumbuh menjadi
penakut, sedangkan anak kecil yang sering dikerasin (dipukul, cubit, etc) akan
tumbuh menjadi anak yang punya sifat yang sama (suka memukul, etc). Dikatakan juga suami yang suka memukul istri, bisa jadi karena sewaktu kecil, sang suami sering dipukul oleh orangtua/pengasuhnya.

Tugas mencintai binatang adalah tugas kita semua, selain sekolah minggu yang harus mengajarkan, juga harus dimulai dari rumah. Kalau orang tua sibuk bekerja, dan pengasuhan anak diserahkan ke pembantu dan baby sitter, belum tentu norma-norma baik yang ada di orangtua bisa diturunkan ke anak. Karena diasuh dan dibesarkan pembantu/baby sitter, otomatis, apa yang diajarkan oleh baby sitter/pembantu-lah yang diserap oleh anak-anak tersebut.

Ada satu artikel yang bagus di kompas edisi hari ini, Jumat, September 15, 2004 bahwa seorang anak adalah peniru ulung aktivitas orang yang berada di
sekitarnya...

"Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki....Jika anak dibesarkan
dengan toleransi, ia belajar menahan diri......." (puisi Anak Belajar dari
Kehidupannya dari Dorothy Law Nolte). Bahwa puisi itu jika direnungkan bahwa pendidikan dan karakter anak 'diciptakan' oleh orang tua yang membesarkannya.
Masih dalam artikel itu juga dihimbau agar orang tua yang sibuk meluangkan waktu sepulang kerja untuk menidurkan anak; meninabobokannya, etc......

Saya teringat apa yang dikatakan oleh dr. Ratna Surya Widya dalam pelatihan guru sekolah minggu yang dilakukan di Perguruan Budhi awal tahun 2004 yang lalu (semoga benar saya menulis namanya). Beliau mengatakan bahwa anak balita adalah usia emas dimana anak-anak tersebut sedang berkembang dan pertumbuhan otaknya bergerak dengan cepat. Pada usia emas ini, sayang sekali kalau tugas membesarkan mereka yang begitu mulia diserahkan oleh orang tua kepada orang lain. (Mungkin maksudnya pembantu/baby sitter).

BISDS Carolling pas chinese new year di KL

KL, Chinese New Year 2003

Saya ingin berbagi tentang kehidupan ber'sosialisasi' di BISDS (Buddhist
Institute of Sunday Dhamma School) semasa saya tinggal di Kuala Lumpur dulu.Kenapa sosialisasi? Karena saya sangat terkesan sekali dengan keramahan mereka walaupun saya orang asing disana.

Di BISDS, setiap tahun baru china, ada aktivitas yang namanya "carolling" dimana anggota vocal group anak-anak sekolah minggu akan berkeliling ke rumah-rumah umat Buddha yang mengundang mereka untuk menyanyi. Umat yang mengundang itu di-data dan keputusan untuk berkunjung akan ditentukan oleh guru pendamping, yang dipertimbangkan misalnya lokasi rumah dan berapa rumah yang bisa dikunjungi dalam satu hari. Karena tidak mungkin mengunjungi puluhan rumah. Tugas tuan rumah adalah menyajikan kue-kue dan minuman seperti kebiasaan di Chinese New Year.
Carolling diadopsi dari kebiasaan umat Kristen pada hari natal. But overall it
was a nice experience.
Kali ini, saya mengundang mereka untuk datang. Tadinya saya pikir cuma 10-15 orang yang datang, tetapi ternyata yang datang itu satu bus gede, yang
isinya mungkin ada 30 anak murid plus pengawasnya.
Mereka bernyanyi dan memeriahkan suasana chinese new year. Karena saya dan suami adalah orang asing di KL, jadi tidak punya banyak saudara, kehadiran mereka sangat berarti sekali. Mereka menyanyikan lagu-lagu Chinese New Year yang diadopsi 'the buddhist way' dan lagu-lagu Buddhis, total ada 5-6 lagu. Sebelum memasuki rumah, mereka menyanyikan lagu pembuka, setelah didalam rumah, tuan rumah diminta duduk mendengarkan dan mereka berbaris rapi dan menyanyi; kemudian istirahat dan makan-makan; setelah selesai dan mau pamitan, mereka bernyanyi lagi.

Event ini sangat mendekatkan antara mereka dan tuan rumah, istilahnya
ber'silahturahmi'.

Chinese New Year tahun itu, saya juga mengundang 3 anak-anak dari panti asuhan buddhis Tiratana untuk berlibur bersama saya dan keluarga. Rasanya indah sekali bisa berbagi kebahagiaan dengan mereka. Melihat mereka begitu
senangnya makan di McDonald dan dibelikan baju baru...

Kalau di Jakarta, ada kegiatan serupa, please let me know, karena saya juga
ingin mengundang...

Pertanyaan yang tidak perlu dijawab

Jakarta, March 20, 2004

Terkadang memang kita memiliki rasa keingintahuan yang tinggi terhadap banyak hal...

Saya juga pernah mendengar jawaban serupa dari Chief Reverend Dhammananda ketika teman saya bertanya tentang alam semesta; beliau bilang bahwa banyak sekali pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena dengan mendapatkan jawabannya tidak akan membawa manfaat bagi latihan diri kita.

Tapi teman saya malah nge-dumel, katanya, kok chief suka gak menjawab pertanyaan kita yach, padahal kita khan ingin tahu... :-) Nach lo...?

Cerita tentang doa dan berkah

Kuala Lumpur, November 22, 2003

Demikian yang saya dengar; bahwa Avalokiteshavara adalah perwujudan dari sifat cinta kasih seorang Buddha. Di India, Avalokiteshvara adalah figur laki-laki.
Tetapi setelah tradisi ini diadopsi di China, karena dirasakan bahwa cinta kasih
lebih identik dengan wanita, maka lahirlah figur Kwan Im. Bahwa juga sebenarnya Avalokiteshvara tidak exist. Demikian yang saya dengar dan demikian juga yang saya percaya selama ini. Karena itu juga saya tidak begitu antusias membaca Namo Kwan Im.......sampai beratus-ratus bahkan beribu kali.........
Saya juga dengar bahwa membaca keng sampai beribu kali tersebut bukanlah untuk merubah nasib seperti 'promosi' yang tertulis di buku-buku yang disebarkan di kelenteng. Menggunakan istilah meditasi; membaca keng adalah salah satu upaya untuk melatih konsentrasi.

Tradisi Mahayana begitu popular di Asia, juga karena program 'marketing' yang
bagus (......bahwa dengan membaca keng bisa menolong meringankan
penderitaan......).
Kalau ditelaah lebih lanjut, itu semua ada benarnya. Seperti halnya meditasi
dengan melafalkan "Buddho" berulang-ulang.

Keluarga saya sendiri mempunyai tradisi untuk bersembahyang memuja Kwan Im. Dengan berdoa, akan meringankan bebannya. Dan hal ini selalu dilakukan.

Terus terang, selama ini doa saya hanya satu; Semoga semua makhluk berbahagia. Bagi saya, semua makhluk hidup dari dan dengan karma mereka sendiri. Tetapi ada satu kejadian yang membuat saya benar-benar tidak berdaya dan tidak mampu berbuat apa-apa sampai saya mampu melakukan apa saja untuk mengatasi hal tersebut. Sudah benar-benar desperate.

Begini ceritanya; anak saya; Dhilan, yang baru saja berumur satu bulan hari ini,
lahir dengan sebuah benjolan di kepalanya. Berwarna merah dan bernanah
diatasnya. Semakin hari semakin besar, terakhir kami ukur, ukurannya 2.5cm x
2.5cm. Karena letaknya diatas kulit kepala, dikhawatirkan akan mempengaruhi
otaknya. Anak pertama saya dan lahir dengan sebuah benjolan. Sangat mengkhawatirkan.
Karena di Kuala Lumpur banyak dokter spesialis, maka hampir tiap hari kami harus ke rumah sakit mengunjungi para dokter ahli. Dari dokter spesialis kanak-kanak, dokter bedah anak, dokter bedah otak, dokter bedah plastik, semuanya belum menemukan sebab dari benjolan tersebut karena kasus ini termasuk jarang. Hasil UltraScan menunjukkan bahwa Dhilan baik-baik saja, tetapi herannya benjolan tersebut makin besar dan merah. Akhirnya dokter menyarankan untuk di MRI untuk melihat hasil yang lebih jelas. Bagi yang pernah menjalani MRI, orang dewasa aja kadang tidak nyaman karena suara yang bising dan ruangan yang sangat dingin dan mesti dalam kondisi tidak bergerak; apalagi untuk bayi umur satu minggu. Tetapi sayangnya Dhilan tidak bisa diam dan usaha MRI pun gagal.
Radiologist menyarankan untuk menggunakan General Anastetik, dimana Dhilan akan disuntik dan kemudian menggunakan life support machine baru kemudian di MRI, saya menolak karena dengan option tersebut, Dhilan akan tidak sadarkan diri selama 5 jam lebih.

Dokter bedah plastik menyarankan untuk bedah plastik, menghilangkan benjolan tersebut. Saya lemas, membayangkan anak sekecil Dhilan
mesti dioperasi, etc.

Akhirnya ada yang merekomendasi seorang dokter spesialis kanak-kanak yang
berpengalaman di Subang Jaya Medical Centre. Disana Dhilan berhasil di MRI
dengan menggunakan sedation. MRI sebuah proses yang cukup tedious untuk baby tetapi akhirnya berhasil dilaksanakan dan benjolan di kepala Dhilan ternyata tidak berhubungan dengan otak. Kemungkinan besar bisa dilakukan laser surgery untuk menghilangkan benjolan tersebut. Sudah agak lega sedikit tetapi masih khawatir memikirkan laser surgery yang harus dilaksanakan. Juga ada sedikit rasa takut. Biarpun laser, tetap saja sebuah surgery. Remember, Dhilan masih baby berumur hitungan hari.

Masih dalam keadaan desperate, yang bisa saya lakukan adalah berbagi dengan
beberapa teman dekat, lewat email dan telepon. Sharing. Semua membantu berdoa untuk Dhilan. Saya pun berdoa untuk Dhilan. Entah itu kekuatan doa, entah itu keajaiban, tidak tahu apalagi, lambat laun benjolan di kepala Dhilan pun mengecil, tiap hari tambah kecil, dan sekarang, setelah 30 hari, yang tinggal adalah nanah yang sudah mengering, benjolan tersebut sudah rata dengan kulit kepala.

Mungkin para bodhisatva turut menolong Dhilan.
Kemarin, ketika Dhilan tepat berumur 30 hari, kami ke Mahavihara Brickfields
untuk meminta blessing dari Chief Reverend; Chief Reverend meletakkan tangannya di kepala Dhilan dan little Dhilan dengan tenangnya, tidak menangis, hanya menatap dengan mata kecilnya. Mungkin itu semua karena kekuatan doa.
Dengan berdoa, membantu meringankan beban saya. Terkabul atau tidaknya, at least saya sudah berbagi beban.

Regards,
Jenty



Catatan tambahan: Tulisan ini baru saya download di thn 2011, Dhilan sudah 7 tahun dan sehat. Benjolannya sdh tidak ada  tetapi bekasnya masih tersisa di kepala, berubah bulatan putih, sampai hari ini tidak ada rambut yang tumbuh diatas benjolan itu dan Dhilan tumbuh menjadi anak yang cerdas. Daya ingatnya tajam, apa yang pernah dia lakukan, ucapkan atau apa yang pernah saya ceritakan beberapa tahun yang lalu, dia masih bisa ingat dengan jelas. Mungkin ini juga berkah dari benjolan itu, siapa yang tahu...

Tentang debat Theravada-Mahayana

KL, October 29, 2003

Dalam salah satu sesi diskusi dengan Bhante K. Sri Dhammananda;
FYI, beliau adalah seorang yang suka bicara "to the point" dan tidak suka pertanyaan yang panjang lebar tetapi tidak ada isinya. Apalagi berbelit-belit dan bertele-tele.

Satu point yang beliau kemukakan; bahwa terkadang ada sebagian dari ajaran Buddha yang sulit dipahami; tetapi kalau dipertanyakan terus menerus pun tidak ada gunanya. Cara paling mudah, jalanin apa adanya. Practice, practice, practice........

Walaupun Chief Reverend seorang Theravadan, tetapi beliau mengatakan, peran Mahayana sangat besar sekali dalam penyebaran ajaran Buddha di Asia. Konsep Mahayana sebagian sudah melebur kedalam tradisi umat di negara dimana ajaran tersebut berkembang.

Dulu saya termasuk type yang suka mempertanyakan semuanya tetapi kemudian saya sadari, mengetahui jawaban dari semua pertanyaan saya tidak membantu saya sama sekali, semua itu hanya memuaskan ego saja.

Mungkin kalian-kalian yang ngotot diskusi tentang topik ini itu juga hanya ingin menonjolkan ego and show off? Well, mesti dijawab sendiri. You know yourself better.

Karena pengertian kita masing-masing yang terkadang masih bias tentang ajaran Sang Buddha, cara lebih baik adalah berpikiran terbuka.

Regards,
Jenty

Perlu gak paksa anak kita ke sekolah minggu?

KL, October 25, 2003

Hanya berbagi pengalaman. Di BISDS Malaysia, sekolah minggu tempat saya mengajar (dan sebentar lagi pensiun karena tugas kantor mengharuskan kami sekeluarga untuk balik ke Jakarta.......), kebanyakan anak-anak yang datang ke sekolah minggu karena dipaksa oleh orang tuanya. Mengingat BISDS memiliki 1000-an jumlah murid, ini menunjukkan bahwa para orang tua disini cukup aktif memaksa anak-anaknya untuk ke vihara.....:-)

Dari sekian anak murid ini, ketika mereka beranjak remaja, sekitar 12-17 tahun, sebagian akan 'drop out' atas kemauan sendiri (BISDS menyediakan fasilitas sampai dengan usia 17 tahun). Hal ini bisa terlihat dari pattern bahwa kelompok umur 5-12 tahun biasanya lebih banyak jumlahnya daripada yang kelompok 'teenagers'. Sebagian dari murid BISDS tersebut akan terus belajar sampai tamat dan kemudian mengabdi kembali ke BISDS, either sebagai guru sekolah minggu atau aktif di kegiatan pemuda vihara.

Melihat jumlah sukarelawan guru yang jumlahnya 150-an, metode ini cukup efektif. Tradisi ini sudah berlangsung selama puluhan tahun, termasuk jaman Bhante H. Gunaratana dan Bhante K. Sri Dhammananda masih menjadi guru sekolah minggu di MahaVihara Brickfields (cuma waktu itu jumlah murid dan fasilitas sekolah belum secanggih sekarang ini).

Dari jumlah murid di kelas saya mengajar, kelompok umur 9 tahun, total murid ada sekitar 35 murid, tetapi yang aktif datang sekitar 25-30 murid. Yang menarik, salah satu diantara mereka menderita autistik, tetapi tetap didatangkan ke sekolah minggu karena orang tuanya ingin anak tersebut bersosialisasi.
Attendance mereka cukup memuaskan walaupun hampir semuanya mengaku datang karena 'dipaksa' orang tuanya. Secara mayoritas, murid wanita biasanya lebih enjoy berada di kelas, banyak omong and aktif, sementara yang laki-laki termasuk yang sering 'bolong absensinya'.

Walaupun acara bangun pagi di hari minggu adalah sesuatu yang sukar bagi mereka, apalagi opportunity costnya adalah acara kartun anak-anak yang sangat menarik, umumnya mereka menikmati datang ke sekolah minggu setelah bertemu dengan teman-teman seusianya yang lain.

Regards,
Jenty

Be friends with Karma

KL, August 4, 2003
 
Sebagai buddhist, kalau kita terpikir untuk 'memberikan contoh' yang baik ke
masyarakat dengan menunjukkan ketenangan yang kita miliki dari mempraktekkan ajaran Buddha; berapa lama waktu yang diperlukan untuk itu? Bagaimana kalau semua umat Buddha memiliki pola pikir yang sama? Saya khawatir, sebelum kita sempat melakukan apa-apa, buddhism sudah terlanjur 'jatuh'.

Dari berbagai pengalaman pribadi dan beberapa teman saya, sebagai umat biasa, umumnya kita perlu support group yang kuat untuk tetap 'berada di jalan yang benar'. Misalnya setelah mengikuti latihan meditasi selama seminggu, umumnya para peserta begitu tenang dan terkontrol pikirannya. Tetapi, 3 bulan kemudian, terkadang karena sudah kembali dan bercampur dengan kehidupan duniawi, dimana harus bekerja dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, banyak sifat 'lupa'nya. Untuk bermeditasi-pun, banyak excuse-nya.
Contoh yang paling sederhana; terjebak dalam kemacetan lalu lintas, mulai lagi
ngomel dan mengumpat sana sini. Lupa-lah apa yang diajarkan oleh master meditasi untuk selalu 'mindful' dalam setiap situasi.

Tentang kekacauan dalam organisasi agama, kayaknya hal tersebut terjadi
dimana-mana. Banyak juga para pendeta kristen yang memanfaatkan sumber dana dari masyarakat untuk kepentingan pribadi. Not to mention beberapa bhikkhu yang lepas jubah setelah berhasil mengumpulkan dana untuk membeli barang-barang mewah. Yang ini, jangan dibahas, udah menjadi sifat umum manusia untuk menjadi serakah, makanya kita terjebak dalam samsara.

Banyak juga loch misionaris buddhis yang saya kenal. Ada WBO (Western Buddhist Order), despite banyak komentar yang 'tidak menyenangkan' tentang system sangha yang mereka anut; anggota WBO banyak yang melaksanakan misinya menyebarkan buddha dhamma dengan biaya sendiri. Tentu saja sangat membantu karena beberapa dari mereka yang saya kenal adalah para professional yang bekerja berdasarkan per project basis; misalnya consultant management yang memiliki kantor sendiri dan 'hanya' bekerja 1/2 tahun dan 1/2 tahun yang lain digunakan untuk menyebarkan dhamma. Juga ada seorang dokter umum yang bekerja sebagai dokter pengganti selama periode tertentu dan sisa waktu yang ada digunakan untuk berkelana dan mengajarkan meditasi. Of course, sangat membantu adalah pilihan mereka untuk tetap 'single' sehingga memiliki kebebasan waktu untuk mengembara. Tahu sendirilah, kehidupan berumah tangga memiliki komitmen yang sangat tinggi.

Di Malaysia, ada BMSM (Buddhist Missionary Society Malaysia). Mereka mengadakan misi dhamma ke India, membantu rakyat miskin disana, mengajarkan dhamma secara perlahan-lahan karena di India banyak yang beragama Hindu. Project terbaru adalah menyediakan keperluan sekolah dan kebutuhan sehari-hari untuk 300 anak usia sekolah di Kusinagar, India. Dalam project ini, mereka mendapat sumbangan berupa 2x 20 feet containers dari umat untuk mengangkat baju-baju bekas dan alat-alat keperluan sekolah hasil sumbangan dari masyarakat buddhis di malaysia.
Untuk penyebaran dhamma di dalam Malaysia sendiri, mereka mendapat support dari resident monk; Chief Reverend K. Sri Dhammananda dan his disciples.

Juga di Malaysia ada BGF (Buddhist Gem Fellowship) yang terdiri dari para
cendekiawan buddhis yang mengabdikan dirinya dalam perkembangan buddha dhamma. BGF terdiri dari berbagai profesi; pengacara, dokter, pemusik, ahli ekonomi, ibu rumah tangga, etc. Mereka banyak mendatangkan bhikkhu-bhikkhu cendekiawan dari Thailand untuk memberikan ceramah dhamma. Topik-topik yang dipilih pun sederhana tetapi dibahas dari sudut yang bisa diterima oleh masyarakat pendengarnya.

Menurut saya, untuk menyebarkan ajaran Buddha, haruslah dikemas dalam kemasan yang menarik. Cara penyampaian pun harus disesuaikan dengan taraf pendidikan pendengarnya. Tidak dipungkiri, latar belakang pendidikan penceramah akan dipengaruhi oleh taraf pendidikan yang diperolehnya. Pendidikan disini tidak hanya berarti pendidikan formal, seperti Undergraduate, Post Graduate ataupun Doctorate. Tetapi keinginan untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan membaca juga akan sangat membantu. Kalau setiap ceramah selalu berisikan "Hidup ini adalah Dukkha.......", tentunya membosankan harus mendengarkan hal yang sama berulang-ulang. Tidak ada yang suka mendengarkan hal-hal yang sudah mereka ketahui.
Contoh salah satu ceramah yang dibawakan oleh Dr. Elizabeth English, pembicara tamu dari UK, yang sangat popular dan dihadiri oleh banyak umat Buddha tahun 2002 lalu adalah "Be friend with Karma". Dari judulnya aja udah menarik. Isinya sederhana sekali bahwa terkadang kita malas melakukan sesuatu yang bermanfaat karena terlalu menggantungkan diri pada karma. Padahal kita bisa merubah karma kita dengan apa yang kita lakukan di saat ini. Menurut saya, isi ceramah Elizabeth lebih kurang sama dengan ajaran Liao Fan. Tetapi cara pembawaannya dan kemasannya plus promosi yang dilakukan oleh panitia penyelenggaran-lah yang membuat session ini menjadi penuh sesak

Mar 19, 2011

Pengalaman bersekolah di sekolah Buddhis

KL, June 22, 2003

Pengalaman saya bersekolah di Sekolah Buddhis dari SD dan SMP di
Jambi,proses belajar mengajar berlangsung seperti halnya sekolah biasa. Kelebihannya hanya karena adanya Pelajaran Agama Buddha dan karena berada
dalam kompleks vihara, seminggu sekali ada kebaktian massal yang dimana ada
absensi, so semua datang karena alasan tersebut. Guru-gurunya pun mayoritas
beragama Islam.

Labelnya memang Sekolah Buddhis, tetapi gurunya, belum tentu buddhis loh. Penting gak sih mendirikan Sekolah Buddhis, sedangkan sumber
daya manusia saja, tidak mencukupi? Sebagai guru, yang ada hanyalah keinginan untuk mengabdi dan menyumbangkan sesuatu ke masyarakat. Sementara dijaman ini, buddhis atau bukan, uang tetap menjadi sasaran utama.

Tentang pendidikan anak. Kalau para orang tua, concern dengan moral anak,
harusnya tidak mengandalkan sekolah untuk mengajarkan pendidikan moral ke
anak-anak. Pendidikan Agama Buddha yang ada saat ini di Indonesia, lebih fokus ke memberikan 'knowledge' semata, bukan pemahaman tentang ajaran Buddha. Cenderung theoritical. Berikut adalah cuplikan email yang saya terima dari teman saya di Jakarta tentang sekolah anaknya;
"... mau cerita nih tentang pelajaran agama Buddha. Gini anakku sekarang udah
kelas 1 SD, sengaja aku cari sekolah yang ada pelajaran Agama Buddhanya.
Sekarang dia baru mulai belajar agama dan tau-nya bahan pelajarannya susah
banget - itu menurutku. Catatannya semua hanya untuk hapalan. Kok kayaknya tidak seru, bayanganku, harusnya kalo baru kelas 1 mungkin pelajarannya dalam bentuk cerita-cerita agama yang seru-seru, sehingga tuh anak tidak bosan. Tau sendiri khan kalo istilah-istilah di agama Buddha memang rada sulit (bhs Pali). Selain pelajaran agama, ternyata pelajaran lain juga susah banget, kok beda ya.. dengan jaman dulu. Dan pusingnya semua lebih banyak hapalan...."

Semua orang tua anak mengharapkan yang terbaik buat anaknya. Tetapi apakah
kecemerlangan academic akan menjamin keberhasilan hidup mereka di kemudian hari nanti? Saat ini, selain IQ, EQ juga memainkan peranan yang tidak kalah besarnya.
Chinese School di Malaysia terkenal karena gurunya yang strict, pelajaran
tambahan yang berjibun dan juga PR-nya yang banyak. Ada teman saya di Malaysia yang mengeluh karena harus menemani anaknya yang berumur 7 tahun, mengerjakan PR sampai jam 12 malam! PR-nya terlalu banyak dan rumit, untuk setiap mata pelajaran, ada beberapa PR yang harus dikerjakan dan hal ini berlangsung hampir setiap hari. Sekarang pertanyaannya, apakah dengan sistem PR yang banyak dan pelajaran tambahan yang berjibun akan membuat anak lebih pintar dan tidak menjadi stress? Yang saya amati dari murid-murid saya, hidup mereka seperti overloaded, tidak ada waktu untuk bermain-main seperti halnya kebiasaan anak kecil. Senin-Jumat, sekolah umum plus pelajaran tambahan, plus kursus piano, ballet, tennis, swimming, etc. Sabtu ada kegiatan tambahan lain dan hari Minggu harus datang ke Vihara untuk Sekolah Minggu. Kasihan sekali yach anak kecil jaman sekarang, hampir tidak ada kehidupan sosialnya........ Jaman saya kecil dulu, masih ada waktu untuk main kelereng, lompat tali dan juga main air di kali di dekat rumah nenek saya........

Saya bukan 'teacher by profession', tetapi terbatas sebagai guru sekolah minggu
di vihara. Melihat anak-anak jaman sekarang, yang hanya karena AC di kelas
'tidak dingin', sudah complain panjang lebar dan melihat sendiri anak-anak yang
'enggan' berdana karena uang jajannya mau dipakai untuk membeli barang keperluan lain, setidaknya jadi 'mikir', anak kecil bisa memiliki pemikiran begitu, setidaknya juga karena pendidikan yang diterimanya di rumah. Tidak dipungkiri, karena alasan ekonomi, dimana kedua orang tua sibuk bekerja, banyak anak yang menghabiskan waktu lebih panjang dengan pembantu rumah tangga daripada dengan orang tuanya. Mungkin pola pikir pembantu sudah mencemari pola pikir anak-anak tersebut???

Dalam sesi dengan Chief Reverend Dhammananda hari Sabtu lalu, June 21, salah seorang guru BISDS mengeluh tentang kesulitan mengendalikan anak nakal di kelas yang selalu menganggu anak yang lain. Chief Reverend menjawab bahwa sebagai guru, kita tidak bisa mengharapkan keajaiban bahwa anak-anak akan berperilaku baik hanya karena mereka datang ke sekolah minggu atau hanya karena mereka buddhis. Peranan orang tua lebih penting dalam mendidik karakter mereka. Ada kecenderungan, orang tua anak mengharapkan 'miracle' dengan mengirimkan anaknya ke sekolah minggu, which is sesuatu yang mustahil!

Saran saya, daripada memulai sesuatu yang besar, dengan sumber daya terbatas,
kenapa tidak memulai sesuatu yang kecil tetapi dengan konsentrasi penuh dan
sesuai dengan keterbatasan waktu yang kita miliki. Tentunya semua tahu apa yang saya maksud; mengembangkan sekolah minggu buddhis di vihara masing-masing!!!
Menurut saya, untuk saat ini, banyak aktivis pemuda yang disaat kuliahnya aktif di organisasi tetapi menghilang karena mereka sibuk bekerja dan juga berumah tangga, sudah saatnya untuk kembali mengabdi ke masyarakat. Well, dengan menjadi guru sekolah minggu. Banyak sekolah minggu buddhis di Indonesia, saat ini hanya mengandalkan anak-anak muda untuk menjalankan sekolah minggu. Mereka perlu tenaga tambahan yang bersedia membantu. Kalau saja kita punya pool sukarelawan yang banyak, kita tidak perlu mengajar setiap minggu, mungkin 2x sebulan, which is fair enough. Sistem ini juga yang diterapkan di BISDS, dengan kurang lebih 150 guru, tidak setiap minggu kami sibuk mengajar, juga ada waktu break untuk kehidupan sosial dengan keluarga di hari minggu.

Informasi tambahan, kebanyakan yang mengajar di BISDS adalah ibu-ibu berumur 30-an, 40-an dan 50-an. Bahkan co-teacher saya seorang nenek berumur 63 tahun. Mayoritas mereka juga bekerja full time loch dari Senin-Jumat. Motivasi mereka untuk mengajar adalah karena keinginan untuk memberikan sesuatu ke perkembangan agama Buddha di Malaysia. (Menurut pengamatan saya pribadi, salah satu yang membuat mereka aktif adalah sistem recruitment yang agresif juga, at least, hal ini yang membuat saya terlibat di BISDS..........)

Mengenai buku text buddhis BISDS yang pernah ceritakan di milis ini, Sasana
Abhiwurdhi, yang menaungi BISDS Malaysia, memberikan ijin untuk mereproduksi buku-buku tersebut dengan satu syarat ringan; mereka minta di 'inform' tentang tujuan tersebut dan kalau ada yang berniat untuk menerjemahkan ke bahasa indonesia, mereka minta dikirimkan satu set copy dari hasil terjemahan tersebut.

Regards,
Jenty

Spritual Friendship

Kuala Lumpur, February 28, 2003

Minggu-minggu terakhir ini, dengan musim hujan dan udara yang 'tidak begitu
sehat', di sini, KL, banyak aktivis vihara di Brickfields yang sakit, ada juga
yang kena stroke-sampai mesti dihospitalized selama beberapa hari. Karena
hal-hal seperti ini kebanyakan emergency dan umat biasanya hanya ngumpul di
vihara pada hari-hari tertentu, maka bhikkhu sangha-lah yang kerepotan mesti
kesana kemari melakukan aksi sosial.

Bermulai dari itulah, dalam acara "Fellowship Night-February 22, 2002" untuk guru sekolah minggu di BISDS Kuala Lumpur; Bhante Dhammaratana (salah satu resident monk di Mahavihara Brickfields yang juga Kepala Sekolah Sekolah Minggu-BISDS), mengungkapkan pentingnya "Telephone Directory" di vihara, agar pada saat umat yang lain membutuhkan bantuan, ada aktivis yang bisa dihubungi.
Telephone Directory ini berisi nomor-nomor telepon sukarelawan yang bersedia membantu. Bhante Dhammaratana juga mengungkapkan masalah dimana antar umat vihara, tidak saling mengenal, dan sikap guru sekolah minggu yang cuma datang ke vihara untuk kebaktian, mengajar, terus pulang, sehingga keakraban tidak terjalin dengan baik ........, yang selanjutnya mengingatkan saya pada keakraban antar pemuda di PVVD.

Saya jadi teringat masa waktu masih aktif di PVVD (Pemuda Vihara Vimala Dharma) di Bandung. Waktu itu, awal 1990-an, hampir setiap hari ada pemuda yang berkumpul di vihara, terutama sore hari, pas sudah selesai kuliah, di depan perpustakaan, dekat majalah dinding, selalu banyak anak muda yang nongkrong, diskusi tentang ajaran Buddha sampai ulasan buku dan ada juga yang ke ruang kebaktian untuk bermeditasi. Buku yang waktu itu lagi hangat dibahas adalah "Megatrend 2000", maklumlah waktu itu baru tahun 1990......., semua pada ingin tahu apa yang akan terjadi di tahun 2000.
Vihara bagi kami adalah rumah kedua selain kamar kos yang sempit. Dan kalau ada yang sakit, melahirkan, kematian, etc, (karena waktu itu belum ada handphone, pager-pun masih satu-dua doang, email pun belum popular, apalagi chatting!), penyebaran informasi biasanya lewat group yang suka ngumpul tersebut. Dan kalau lagi masa-masa stress, apalagi kalau dekat dengan ujian, berkunjung ke vihara adalah saat-saat untuk relaks. Bernamaskara di Vihara Vimala Dharma, membawa kesejukan tersendiri. Waktu itu masih bangunan vihara lama, yang sangat 'cooling' dan menyenangkan. Saya sendiri suka duduk-duduk saja di dalam vihara, terkadang tanpa melakukan apa-apa, hanya menikmati suasana.......
Dan juga ada acara tetap PVVD pas liburan semester Juni-Juli; Cross Country dan kalau akhir tahun adalah Bina Widya (Pekan Penghayatan Dharma versi Buddhayana).
FYI, Bina Widya pertama kalinya bermula dari PVVD, beberapa tahun kemudian dijadikan event nasional. Salah satu Cross country yang pernah saya ikuti waktu itu; Jalan kaki ke beberapa daerah wisata di Jawa Barat, lebih dari seminggu, jalan kaki melulu, capek juga :-) Keakraban yang terjalin secara tidak sengaja antara kami waktu itu-lah yang secara tidak langsung menjadikan support bagi kelangsungan study di Bandung. Beberapa dari kami berasal dari keluarga yang tidak harmonis, ada yang orang tuanya bercerai dan dukungan dari teman-teman memberikan arti yang sangat dalam. Kebanyakan dari kami berasal dari keluarga menengah, banyak juga yang mesti memberikan les ke anak SMA untuk menambah uang saku. Dukungan dari teman-teman menjadikan semua untuk tetap tabah dan berjuang sampai selesai kuliah.
Sayangnya persahabatan yang indah tersebut, akhirnya tidak kedengaran beritanya karena begitu semua selesai kuliah, banyak yang meninggalkan Bandung. Ada juga yang ke luar negeri. Dan karena waktu itu tekhnology belum secanggih sekarang, keeping in touch adalah sesuatu yang 'challenging'. Kepada alumni mahasiswa buddhis bandung, kita punya ambb@yahoogroups.com tapi sekarang sudah hampir
'inactive' karena banyak email address yang sudah tidak up-to-date lagi dan banyak spam.

Sempat ketemu delegasi dari Jakarta waktu Global Conference di Shah Alam dan katanya mereka punya group juga sendiri. Menurut saya, ini salah satu wadah kalyana mitta untuk saling membantu satu sama lain, dalam dhamma maupun dalam hidup sehari-hari. Milis Buddha sendiripun, membuat kita lebih mengenal, walaupun tidak kenal wajah, tapi kenal nama dan terkadang bisa mengetahui kepribadian seseorang lewat apa yang mereka tulis....... Juga ada kerja sosial dari Ibu Siang Riany yang menangani anak asuh, etc. Juga cerita dari Brother Lim, salah seorang trainer di BISDS yang berkunjung ke Ekayana Graha 2 minggu yang lalu, beliau sangat terkesan dengan keakraban muda-mudi di Ekayana yang begitu friendly dan selalu siap membantu.

Siapa bilang umat buddha di Indonesia suka menonjolkan sekte masing-masing? Janganlah terlalu mudah mengambil kesimpulan, itu mungkin cuma 'setitik noda' dari mereka yang ingin mencari popularitas, tidak mewakili keseluruhan umat Buddha Indonesia. Dan hal yang pernah terjadi diwaktu lalu, belum tentu mencerminkan situasi saat ini. Diskusi yang terjadi di milis, terkadang bisa menimbulkan salah paham. Ada yang ingin menerangkan sesuatu, tapi karena pilihan kata-kata yang kurang tepat, malah menimbulkan arti yang lain. Yang baca pun mesti selektif. Kalau ada tulisan yang sudah out of topic, lebih baik tidak ditanggapi daripada nanti menjadikan diskusi yang tidak sehat lagi.


Regards,
Jenty

Sebuah Pendapat

Kuala Lumpur, January 27, 2003

Saya tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Ceramah dhamma di Maha Vihara
Brickfields, selalu sederhana dan menggunakan cerita-cerita yang mudah
dimengerti. Menurut pengamatan seorang teman dari New Zealand, Dharmadhara, katanya umat buddha di malaysia sangat suka mendengar cerita-cerita yang segar dan sederhana. Renungannya juga disesuaikan dengan kehidupan masyarakat buddhist pada umumnya. Pendengar tidak disuguhkan dengan terlalu banyak istilah-istilah yang complicated pada saat ceramah umum.

Saya rasa Dharmadhara banyak benarnya. Mungkin karena itulah, PHH Henry Hall yang biasa digunakan untuk dhamma talk, selalu dipenuhi dengan insan-insan yang haus dhamma. Karena dhamma bagi mereka, sesuatu yang menarik, bukan complicated. Dan, bagi yang senior dan yang ingin memperdalam dhamma, mereka mengadakan kelas-kelas khusus, seperti Abhidhamma
class pada waktu-waktu tertentu. So, ada kategorinya berdasarkan pengetahuan
dhamma-nya.

Chief Reverend Dhammananda, kemarin bercerita bahwa beliau mengikuti conference agama buddha dan disitu beliau membaca statistic bahwa umat buddha di Indonesia adalah 1% dari total populasi. Dengan 80% Islam dan 5% Kristen. Dan beliau sangat gembira karena banyak juga pribumi di Jawa yang beragama Buddha. Bahkan beliau pernah berbincang-bincang dengan mereka.

Hanya 1% yang beragama Buddha, menurut statistic. Apakah mungkin, ajaran Buddha sulit dicerna, karena kita yang membuatnya menjadi complicated?

Berkah dari memberi persembahan

Kuala Lumpur, April 28, 2003

Saya jadi ingat cerita teman tentang seorang umat Buddha (sebut saja A) di
Singapore yang selalu melakukan 'shopping' di kulkas vihara. Kabarnya kulkas
vihara tersebut selalu penuh dengan makanan dana dari umat. Saking banyaknya makanan tersebut selalu disimpan dalam kulkas sampai membusuk dan akhirnya dibuang. Umat ini, Si A, dengan kesadaran sendiri mengambil makanan dari kulkas vihara dan tentunya dengan seijin bhikkhu yang berdomisili di vihara tersebut, kemudian, sebagai alat tukarnya, beliau mendanakan sejumlah uang ke kotak dana vihara. Juga cerita teman tentang seorang bhikkhu di Thailand yang dipercayai sebagai 'arahat'. Jumlah umat yang ingin mendanakan makanan ke bhikkhu ini, ribuan orang. Dan makanan-makanan tersebut, saking banyaknya, tidak tahu bagaimana mengatasinya.

Dulu, saya juga suka masak dan membawanya ke salah satu vihara di Kuala Lumpur. Tetapi, setelah menyadari betapa 'banyaknya' makanan yang tersedia di vihara, akhirnya saya memutuskan untuk pindah dana makanan ke tempat lain. Terkadang, kalau ada waktu luang, saya dan teman-teman berkunjung ke panti asuhan dan memasak untuk anak-anak disana, rasanya lebih menyenangkan karena mereka lebih membutuhkan makanan yang kami masak. Salah satu menu kegemaran anak-anak panti asuhan tersebut adalah Ayam Goreng Indonesia yang pakai bumbu Indofood. :-)

Guru dan Pelajaran Agama Buddha???

Kuala Lumpur, June 12, 2003

Seru juga yach debat tentang UU Sisdiknas, tetapi sejauh ini saya lihat, itu
semua hanyalah sebatas debat yang tidak ada gunanya. Prihatin sich prihatin,
tapi karya yang nyata tidak ada.
Menurut laporan terbaru yang saya baca di kompas.com, katanya DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional untuk
disahkan menjadi undang-undang.
Dengan ini harusnya tenaga tambahan untuk menjadi guru pelajaran Agama Buddha akan meningkat. Apakah mereka siap menjadi guru? Apakah dari segi kurikulum sudah siap???

Menurut pengalaman saya sendiri sebagai guru sekolah minggu di BISDS; menghadapi anak-anak adalah sebuah tantangan tersendiri. Selain pengetahuan Dhamma, juga perlu kesabaran dan kedewasaan. Apalagi anak kecil jaman sekarang yang daya analisanya tajam sekali. Belum lagi yang nakal dan suka bikin heboh di kelas.......

Tentang KURIKULUM PELAJARAN AGAMA BUDDHA:
Sebagai perbandingan;
Kurikulum di Malaysia, hanya pelajaran agama Islam yang diajarkan di Sekolah dan murid Non-Islam belajar pendidikan moral. Sedangkan di Indonesia, pelajaran agama menjadi suatu keharusan, bahkan ada di kurikulum sekolah. Dan membandingkan kurikulum pelajaran agama buddha di Indonesia dan kurikulum pelajaran agama buddha di malaysia, sangatlah jauh berbeda.
Buku Pelajaran Agama Buddha untuk anak-anak SD di Malaysia penuh dengan gambar dan warna, cerita kehidupan Sang Buddha yang penuh warna, cerita jataka diselingi dengan diskusi yang menarik diakhir cerita, cross word puzzle, latihan mewarnai dan masih banyak lagi. Di Malaysia, pelajaran Agama Buddha diusahakan menjadi sesuatu yang 'fun', dimana anak-anak itu juga bisa bersosialisasi dengan baik. Tidak hanya monoton mendengarkan guru saja.
Sedangkan Buku Pelajaran Agama Buddha untuk anak-anak SD di Indonesia penuh dengan Bahasa Pali yang susah dimengerti dan ajaran-ajaran buddha seperti 4 Kesunyataan Mulia, yang rasanya masih terlalu dini untuk dimengerti oleh anak seumur mereka.... Mungkin kurikulum sekolah untuk pelajaran agama buddha untuk anak-anak perlu di update sedikit dan dipermudah.......
Dari beberapa teman di Indonesia yang sempat saya kirimkan buku-buku sekolah minggu dari Malaysia, umumnya bilang tentang respons positif dari anak-anaknya.
Terutama karena buku-buku tersebut penuh warna. Walaupun semuanya dalam Bahasa Inggris tetapi mereka menggunakan Simple English yang mudah dimengerti. Bagi yang berminat, buku-buku tersebut bisa dibeli di Maha Vihara Brickfields, 123, Jalan Berhala, Kuala Lumpur, Malaysia. Atau bisa check di website http://www.bisds.org/, tapi biasanya website ini agak terlambat diupdate......., lebih baik kalau ada yang berkunjung ke Malaysia bisa sekalian nitip karena ongkos kirimnya mahal sekali.


Tentang GURU SEKOLAH MINGGU:
Bulan Maret 2003 lalu, ketika pulang kampung ke Indonesia, saya mengunjungi 3 sekolah minggu di Indonesia; 2 di Jakarta dan 1 di Jambi. Menyedihkan sekali melihat kurangnya tenaga guru di vihara-vihara tersebut. Bahkan, di salah satu vihara tersebut, ada anak SMP yang menjadi guru sekolah minggu untuk anak SD. Hal ini karena kurangnya tenaga guru. Jangan bicara tentang kualitas guru, untuk kuantitas saja kita masih kurang.
Terbayang oleh saya, murid-murid di BISDS (Buddhist Institute of Sunday Dhamma School di Maha Vihara Brickfields, Malaysia), yang 'terkesan' mewah, karena memiliki tenaga sukarelawan guru yang begitu berdedikasi dan jumlahnya ratusan orang.
(FYI: Total murid di BISDS di thn 2003 sekitar 1200 murid dengan tenaga guru dan sukarelawan adminsitrasi sekitar 150-an. Dan kebanyakan dari sukarelawan ini adalah orangtua murid dan pensiunan yang ingin mengabdikan diri ke agama Buddha).
Kurikulum Sekolah Minggu disusun oleh pensiunan guru dan umat buddha yang cukup ahli dalam dhamma, dibawah pengawasan Chief Reverend Dr K. Sri Dhammananda.
Salah satu hal yang menjadi kunci suksesnya pengelolaan BISDS adalah support yang tiada hentinya dari Chief Reverend. Karena kerja keras beliau selama 50 tahun jugalah, agama Buddha di Malaysia bisa berkembang pesat seperti saat ini.
Dimasa mudanya dulu, beliau sendiri juga guru sekolah minggu di BISDS. Bahkan banyak sekali mantan muridnya yang sekarang menjadi guru. Terkadang mereka bercerita tentang memory indah waktu belajar di bawah pohon bodhi, di minggu pagi yang panas........

Sampai saat ini, Chief Reverend, diusianya yang ke 84-pun, Beliau selalu
meluangkan waktu untuk memotivasi guru sekolah minggu dengan meluangkan waktu setiap bulan untuk private session khusus tanya jawab seputar dhamma dan sunday school.

Di Indonesia, rasanya sudah cukup banyak orang tua anak yang mengenal dhamma dengan baik, memiliki latar belakang pendidikan yang lumayan. Bila mereka-mereka ini mau 'berbakti' dan kembali ke masyarakat dengan menjadi guru, rasanya kita tidak perlu risau akan kualitas moral generasi mendatang. Seperti yang diajarkan Buddha, Dhammadana adalah yang paling tinggi nilainya.


Regards,
Jenty

Buku: The Bhikkhus' Rules, A guide for Laypeople

Kuala Lumpur, Agustus 28, 2003

Wah, lagi hangat nich diskusi tentang Vinaya.
Ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh Bhikkhu Ariyesako, terbitan Sanghaloka Forest Hermitage, Australia.
Judulnya 'The Bhikkhus' Rules, A guide for Laypeople'.

Buku ini membahas Vinaya Bhikkhu yang berkaitan dengan umat awam. Ada latar belakang cerita kenapa vinaya tersebut diberlakukan dan juga guide bagi umat awam tentang apa yang harus dilakukan sehubungan dengan vinaya tersebut.

Disamping itu juga ada keterangan tentang "Modernization? The Great Standards". Bagian ini menjelaskan bahwa sejak peraturan vinaya diberlakukan oleh Sang Buddha 2500 tahun yang lalu, banyak hal yang telah berubah. Apakah peraturan-peraturan tersebut harus dimodernisasi and dibuat up to date? Ternyata, dalam jamannya Sang Buddha, telah ada compromise untuk mereka yang bertempat tinggal di luar negara bagian tengah India Utara. Misalnya ada special dispensasi untuk alas kaki dan mandi. Jadi ada kecenderungan untuk beradaptasi ke lingkungan walaupun ini tidak berarti mengabaikan peraturan yang telah ada.
Sang Buddha juga meninggalkan prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan
sebagai standard untuk menilai hal-hal baru. Prinsip ini dikenal sebagai "The
Great Standards".

Dalam buku tersebut juga dibahas mengenai Vinaya tentang uang. Tujuan utama Vinaya tentang penggunaan uang itu dibentuk adalah untuk melindungi bhikkhu dari keserakahan dan rasa mementingkan diri sendiri. Juga untuk melindungi dan mengingatkan bhikkhu tentang bahaya dari perbuatan yang tidak berguna. Jika bhikkhu terus terlibat dalam penggunaan uang, hal ini akan mempengaruhi hidup kebhikkhuannya dan hal ini akan menjadi masalah yang lebih besar.

Dalam kehidupan modern ini, seorang bhikkhu dapat diberikan tiket pesawat dan berkeliling dunia (jika diperlukan) tanpa memegang uang ataupun didampingi oleh dayaka. Caranya? Bhikkhu harus dijemput di airport dan dibantu dalam suasana normal jika beliau diundang oleh umat. (Jika tidak diundang, bhikkhu tidak seharusnya travelling). Dan tentu saja seorang bhikkhu boleh menggunakan postage stamps dan telephone cards yang menambahkan kemudahan dalam melakukan komunikasi.

Buku ini juga mendidik umat awam tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan sehubungan dengan vinaya kebhikkhuan. Sangat saya sarankan bagi rekan-rekan untuk membacanya. Bagi yang berminat untuk membaca, buku ini tersedia di Perpustakaan Manjusri, Ekayana Buddhist Centre, Jakarta. Atau, kalau ada yang ingin personal copy, bisa menghubungi WAVE di www.geocities.com/wave_books/index.html


Regards,
Jenty

Merayakan Hari Raya Besar Agama

Kuala Lumpur, February 1, 2003

Saya ingin 'berbagi' cara saya memperingati hari-hari besar agama...

Waktu saya tinggal di Boston, USA, 1998-2000, disana Christmas dirayakan oleh semua orang, terlepas dari agamanya apa. Mungkin juga semua sudah tahu kalau USA terdiri dari imigran dari berbagai suku di seluruh dunia. Semangat Christmas sudah bisa dirasakan pada akhir November, dimana semua mulai sibuk shopping. Bahkan online retailer pun berlomba-lomba menarik pelanggan untuk menaikkan omzet. Online shopping di sana sudah menjadi sebuah habit, bisa menghemat waktu dan tenaga.

Karena saya bekerja di hotel, mengurusi banquet department; selama christmas, hotel selalu penuh dengan booking untuk christmas party. Dari berbagai perusahaan dan organisasi sosial, semua merayakan christmas dengan gembira. Orang yahudi pun merayakan christmas. Acara tukar kado, etc. Saya juga ikutan merayakan christmas. Napas christmas bagi kebanyakan orang disana, bukanlah sesuatu yang monopoly orang kristen saja. Semboyannya, "Christmas is for everyone". Saya juga menerima kado yang berupa lilin dengan Mistletoe dan christmas wrath untuk diletakkan di kamar saya.

Begitu juga waktu saya tinggal di Eropa (1992-1994), saya ber-christmas ria.
Juga pernah ikut ke gereja karena pengen tahu, apa sich yang mereka lakukan
kalau christmas. Sampai sekarang pun, mantan ibu kos saya yang orang India tapi besar di Inggris, selalu mengirimkan kartu christmas, tidak pernah lupa, setiap tahun, for the past 9 years. Walaupun dia tahu bahwa saya buddhist, tetapi tidak terpikir oleh dia kalau di Indonesia hanya mereka yang beragama kristen dan katholik yang merayakan natal. Dan kartu-kartu natal pun menghiasi rumah saya, kiriman dari teman-teman. Desember 1993, di Zurich, Swiss, pernah merasakan 'white christmas' dimana pas malam christmas, salju turun dengan lebatnya, waktu itu kami baru pulang dari gereja.

Waktu masih tinggal di Jambi (saya asalnya dari Jambi, Sumatra), setiap bulan
puasa, selalu ada pasar dadakan, namanya Pasar Senggol. Selama bulan puasa,
semuanya ikut menikmati acara shopping menjelang sore untuk buka puasa. Saya juga paling suka ke sana untuk beli kue-kue. Dan setiap hari pertama puasa, selalu ada yang mengirimkan lontong dan rendang ke rumah.

Nach, kalau Waisak, bagi saya adalah waktu untuk intropeksi. Tidak ada pesta.
Tidak ada acara kunjung-mengunjungi. Yang ada hanyalah kebaktian dan prosesi di vihara. Tahun lalu, 2002, di Malaysia, kita keliling Kuala Lumpur dengan prosesi yang dimulai dari Mahavihara Brickfields. Ada ribuan orang, kebanyakan berbaju putih, dari anak kecil sampai orang tua, membawa lilin dan bunga. Sambil berjalan, mengalunkan buddhist chant dan buddhis hymnes. Indahnya. Waktu itu saya bersama beberapa teman, bergantian mendorong seorang ibu yang duduk di kursi roda... Senangnya bisa saling membantu...

Pernah juga 2 kali saya merayakan Waisak di Borobudur (1991 dan 1992) bersama teman-teman dari Manggala dan PVVD, Bandung, yang paling berkesan adalah pas meditasi di sore hari. Suasananya begitu tenang dan menyenangkan. Begitu tiba Hari Kathina, adalah saatnya untuk berdana. Bersujud didepan bhikkhu sangha, memberikan bahan-bahan keperluan requisite untuk mereka. Serta tentu saja, Hari Raya Imlek, karena saya sendiri keturunan China, mengunjungi saudara-saudara dan makan malam bersama keluarga di Reunion Dinner. Bagi saya, semua hari raya agama adalah hari raya untuk celebration. Semuanya komplit.

Oooops, satu hal, belum pernah nyoba hari raya nyepi.......

Regards,
Jenty

Umat Buddha; Aktif atau Pasif 5/5-Penutup

Kuala Lumpur, February 1, 2003

Untuk mengakhiri serial tulisan tentang umat buddha; aktif atau pasif, saya
ingin memetik sebuah kata bijak dari Bhante Dhammika, yang saya dengar ketika ceramah dhamma pada hari Jumat lalu, Jan 24, 2003. Bahwa kita tidak dapat membantu seseorang bila dia tidak melihat adanya kebutuhan untuk berubah (we can't help a person until that very person see a need to change). Bahwa, betapapun aktifnya kita mencoba menciptakan sebuah kehidupan yang lebih baik bagi semuanya, kalau mereka tidak tertarik untuk berubah, hal itu tidak akan berhasil. Bahwa betapapun kerasnya usaha kita untuk berbagi dhamma dengan saudara-saudari kita, kalau mereka tidak melihat adanya kebutuhan untuk menjalankan dhamma dalam hidupnya, hal itu tidak akan berhasil. Kita tentu tidak boleh putus asa, kita bisa menjadi teman mereka dan membantu mereka kapanpun dibutuhkan.

Regards,
Jenty

Umat Buddha; Aktif atau Pasif? 4/5

Kuala Lumpur, Jan 26, 2003

Saya sedang duduk di depan perpustakaan Mahavihara Brickfields, ketika seorang lelaki separoh baya, berumur sekitar 60-an menghampiri saya. Dia membaca tag nama saya dan berkata, "Hm....Siswanto, pasti orang Indonesia keturunan china......". Dan kemudian beliau pun bercerita tentang kehidupan umat beragama di Jakarta. Beliau kelihatan familiar dengan Indonesia. Kemudian, beliau juga bercerita bahwa sekarang ini, orang sentiasa terburu-buru, entah oleh apa. Hanya datang ke vihara, puja, blessing, terus pulang. Ditempat yang tenang seperti di Vihara-pun, mereka tidak ingin berlama-lama. Padahal di vihara, kita bisa bermeditasi karena didukung dengan suasana yang menyenangkan. Kemudian, kami pun berbincang tentang meditasi. Juga tentang Angulimala dan Hukum Karma. Beliau mengajak saya untuk memperhatikan orang yang lalu lalang di depan pintu gerbang Mahavihara. Katanya, "Seperti mereka yang lewat di depanmu, apakah kamu akan ingat siapa mereka setelah mereka pergi dari hadapanmu? Demikian jugalah keterikatan, kita seharusnya tidak terikat dengan kemarahan, kejengkelan, rasa cinta etc......" Kemudian, beliau memberikan sebuah buku dhamma kepada saya, sebagai hadiah. Judulnya "Living Dhamma" ditulis oleh Ven. Ajahn Chah. Buku ini berisi kumpulan ceramah dhamma yang dibawakan oleh Ajahn Chah, diterbitkan tahun 1993. Sungguh suatu berkah yang tidak ternilai harganya, suatu hadiah dari seorang asing yang baru saya kenal. Kemudian, barulah saya tahu, namanya Brother Koh. Beliau meminta saya membuka halaman pertama buku tersebut yang berisi foto Ajahn Chah dan petuah-petuah yang singkat tapi berarti. Salah satu quote yang ada "Use your heart to listen to these teachings- not your ears." (Gunakan hati anda untuk mendengarkan ajaran-ajaran tersebut, bukan telinga anda). Hari Minggu yang ini, saya mengenal lagi seorang yang baru, di MahaVihara Brickfields. Pembicaraan tersebut berlangsung dalam tempo kurang dari 1 jam. Mungkin cuma 30 menit. Saya tidak ingat, karena semuanya mengalir begitu saja. Yang terjadi sangat sederhana, ada yang mendengar dan ada yang berbicara. Sebagai pendengar yang baik, saya diberi buku. :-). Indah sekali dan baik hati ya Brother Koh ini. Seolah-olah Brother Koh ini tahu bahwa saya sedang mengumpulkan buku-buku dhamma untuk melengkapi Perpustakaan Ekayana Graha Jakarta. Saya terkesan sekali, beliau sangat sederhana dan sangat rendah hati. Berpenampilan sederhana, dengan baju yang agak lusuh dan tas kuning yang penuh dengan buku dhamma. Tetapi pengetahuan beliau sangat dalam, tentang dhamma dan juga politik. Mungkin dapat dimaklumi karena beliau rajin sekali membaca dan juga kerap datang mendengarkan ceramah dhamma pada jumat malam dan minggu pagi di Mahavihara.


Regards,
Jenty

Umat Buddha; Aktif atau Pasif? 3/5

Kuala Lumpur, Jan 13, 2003

Cerita ini saya dengar dari Bhikkhu Aggacitta, pendiri Sasanarakkha-pusat
pelatihan bhikkhu di malaysia, sewaktu Buddhist Global Conference di Shah Alam. Sasanarakkha berlokasi di sebuah hutan, dekat Taiping, Perak, Malaysia. Untuk details tentang sasanarakkha, bisa check di http://www.sasanarakkha.org/

Bhante Aggacitta mengadakan survey tentang apa yang umat buddha malaysia
harapkan dari Bhikkhu. Berbagai pilihan yang ada; bhikkhu lebih sering
memberikan ceramah dhamma, bhikkhu melaksanakan sila kebhikkhuan dengan baik, bhikkhu memberikan sosial servis, etc. Hasil dari survey itu, mungkin mengagetkan bagi sebagian umat, karena mayoritas umat buddha di malaysia menginginkan bhikkhu agar melaksanakan sila kebhikkhuan dengan baik.

Sehubungan dengan survey tersebut; ada seorang umat yang bertanya dalam sesi tanya jawab; APA YANG BHIKKHU HARAPKAN DARI UMAT BUDDHA?
Bhante Aggacitta, tidak menjawab pertanyaan tersebut secara langsung, tetapi
sebaliknya beliau malah bercerita tentang seorang umat buddha senior dari
Sarawak yang berkunjung ke Taiping, Perak. Seperti yang pernah diberitakan di
koran-koran, di malaysia, banyak sekali 'bhikkhu-bhikkhu palsu' yang berkeliaran di jalanan, membawa mangkok pindapata. Mereka berdiri di pinggir jalan, dengan mangkok di arahkan ke orang yang lalu lalang di pusat perkotaan ataupun di sekitar rumah-rumah penduduk dan tempat penjualan makanan. Mereka bukanlah bhikkhu yang sebenarnya, bahkan kalau ada yang bertanya tentang dhamma, mereka tidak tahu sedikitpun. Sangha Malaysia berusaha untuk mengambil tindakan hukum tentang hal ini, tetapi akhirnya dibatalkan karena takut menganggu image bhikkhu secara umum. Artikel tentang bhikkhu palsu inipun akhirnya diterbitkan di The Star, salah satu koran terbesar omzetnya di malaysia.
Anyway, kembali ke umat buddha senior dari sarawak ini, sebut saja Sarawakian.
Sarawakian ini, berkunjung ke sasanarakkha dan melihat banyaknya bhikkhu palsu di Taiping, akhirnya memutuskan untuk memberikan bimbingan dan penerangan kepada umat buddha di Taiping tentang sila-sila kebhikkhuan dan kegunaan dari mangkok pindapata. Bahwa bhikkhu yang 'benar' akan berada di tempat yang terlindung setelah matahari terbenam, bahwa mangkok pindapata haruslah diisi makanan, bukan uang, bahwa bhikkhu tidak berbisnis gelang yang boleh ditukar dengan uang (kalau kita berdana RM 10, terkadang 'bhikkhu palsu' ini memberikan gelang sebagai hadiah :-)). Akhirnya, lambat laun, 'bhikkhu-bhikkhu palsu' pun menghilang dari kota Taiping. (Mungkin karena sumber mata pencahariannya sudah tidak ada lagi, tidak ada yang memberikan uang, maka mereka pun menghilang). So, kalau ada yang kalian yang berkunjung ke Malaysia dan melihat banyak bhikkhu-bhikkhu palsu yang
berkeliaran di pusat pertokoan, jangan memberi uang. Berilah makanan. Or,
menurut bhante Dhammaratana dari Brickfields, Maha Vihara, 'simply ignored them' (cuek-kin aja lah......).

Kembali ke cerita Bhante Aggacitta tentang Sarawakian ini, walaupun bhante tidak menjawab pertanyaan tersebut secara rinci; menurut saya, mungkin Bhante juga ingin agar umat buddha membantu membenarkan persepsi-persepsi salah yang ada di sekeliling kita tentang Buddhism. Terkadang, untuk mengatakan sesuatu secara terbuka, apalagi dalam konferensi yang dihadiri kurang lebih 1000 peserta, dengan cerita-cerita nyata lebih berkesan, daripada sekedar kata-kata nasehat ataupun petuah.


Regards,
Jenty

Umat Buddha; Aktif atau Pasif? 2/5

Kuala Lumpur, Jan 8, 2003

Masih cerita seputar Global Conference yang baru berlangsung di Shah Alam,
Malaysia, bulan Desember 2002 yang lalu. (Btw, yang mewakili Indonesia "cuma" 7 orang. Global Conference 2004 kemungkinan besar bakal ada di Singapore, ada yang mau ikutan?).
---------------------------------------------------------
Pernah baca buku karangan Ven. Chief Reverend Dr. K. Sri Dhammananda? Buku-buku beliau beredar diseluruh dunia. Bahkan, baru-baru ini, beliau mendapat kiriman salah satu terjemahan buku karangannya dalam bahasa arab. Terjemahan Bahasa Arab ini dijual ditoko buku di Iran. Bahkan buku tersebut menjadi salah satu best seller disana. Juga, beliau mendapat surat dari seorang umat Islam disana yang 'telah' menjadi agama buddha. Karena budaya Islam yang sangat kuat, umat tersebut memutuskan untuk berpindah ke negara lain agar bisa menjalankan hidup sebagai buddhist. Mengagumkan!
Bhante Dhammananda sekarang berumur 84 tahun, tetapi beliau masih sangat
bersemangat menulis buku. Sekarang beliau sedang menyusun buku yang berisikan tanya jawab seputar agama buddha. Beliau mengirimkan surat kepada umat buddha dimalaysia; sekiranya ada pertanyaan yang ditanyakan oleh umat lain dan tidak terjawabkan, umat diminta untuk menuliskan pertanyaan tersebut dan dikirimkan ke Bhante Dhammananda. Beliau sendiri yang akan menjawabnya dan menyusunnya dalam bentuk buku. Bayangkan, bhikkhu berumur 84 tahun, masih rajin mengadakan research untuk kepentingan penyebaran dhamma............
Beliau bilang; Buddhism akan menjadi mati kalau umat buddha tetap bersikap
pasif. Beliau jugalah yang mengugah kesadaran saya untuk menulis. Waktu global conference, beliau bertanya kepada semua peserta; apa kontribusi yang bisa kami berikan ke agama buddha setelah mendengarkan dhamma selama 2 hari penuh? Wah, saya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk itu. Dalam perjalanan pulang ke rumah, sambil nyetir, sambil mikir; sayapun bertanya pada diri sendiri, "what can I do?". Sebagai umat biasa yang pengetahuan dhammanya terbatas, apa yang bisa saya lakukan pun terbatas. So, saya memulainya dengan membuat summary ceramah dhamma untuk di share dengan kalian semua. Mungkin, suatu hari nanti, kalau ada kesempatan dan kalau ada uang yang lebih; saya ingin ambil Master of Philosophy, terus menulis buku tentang agama buddha. Sebuah cita-cita, semoga bisa tercapai. Semoga............
Sekarang, kalau boleh, saya juga ingin bertanya; "Apa yang bisa kalian
kontribusikan ke agama Buddha?"

Regards,
Jenty

Umat Buddha; Aktif atau Pasif? 1/5

Kuala Lumpur, January 4, 2003

Saya terinspirasi untuk menjadi seorang umat buddha yang 'lebih baik' (baca:
lebih aktif) setelah mengikuti berbagai kegiatan sehubungan dengan Dhamma Tour December 2002 yang berlangsung di Malaysia. Berikut adalah beberapa cuplikan dari ceramah yang saya dengar dan sangat menarik untuk berbagi dengan saudara-saudari sedhamma di Milis Buddha. Saya kirim dalam 5 bagian, ini bagian yang pertama; selamat membaca:

---------------------------
Dalam Global Conference on buddhism yang baru berlangsung di Shah Alam, Malaysia tanggal 7 - 8 Desember, 2002 yang lalu, banyak sekali pembicara dan praktisi dhamma yang datang. Beberapa diantaranya yang sangat berkesan adalah Bhante Dr. Mettanando dari Thailand, yang juga merupakan penasehat PBB untuk urusan agama buddha. Beliau juga memiliki berbagai gelar akademis; diantaranya B.Sc dan M.D. dari Chulalongkorn University, Thailand; B.A. dan M.A. dari Oxford University, England plus Th.M dari Harvard University, USA dan Ph.D dari Hamburg University, German; very well educated.

Seperti yang kita tahu, Thailand adalah negara buddhis yang juga merupakan pusat prostitusi yang terkenal di asia tenggara. Bhante Mettanando tertarik untuk mengadakan survey, kenapa di negara buddhis yang bhikkhunya puluhan ribu, kok bisa menjadi pusat prostitusi yang termasyur di Asia. Dalam survey tersebut, beliau mengadakan research untuk mengetahui sejauh mana sikap dan pandangan umat Buddha di Thailand tentang hal ini; prostitusi. Para responden adalah umat buddha senior yang mengerti agama buddha dan menjalankan ajaran Buddha dalam kehidupannya. Salah satu questionnaire yang diajukan kepada mereka adalah; "Apa yang akan anda lakukan bila sebuah brothel (pusat pelacuran) akan dibangun disebelah rumah anda?" Kebanyakan dari jawaban yang diberikan menunjukkan sikap pasif para umat buddha ini; beberapa akan lebih tekun bersembahyang dan meditasi, beberapa akan lebih rajin berdana, ada yang akan pindah rumah, etc.
Tidak ada satupun yang ingin prostitusi ditutup ataupun ingin campur tangan.
Menanggapi jawaban dari umat buddha ini, Bhante Mettanando bilang, kita memiliki pilihan, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Kalau memang prostitusi itu tidak baik dan mencemari masyarakat, lakukanlah sesuatu. Jangan hanya berdiam diri, karena menolong memperbaiki keadaan yang buruk menjadi baik juga merupakan sebuah perbuatan mulia. Bhante Mettanando banyak menggunakan Manggala Sutta sebagai bahan acuan dalam ceramah beliau. Manggala Sutta yang sederhana dibuat menjadi sangat menarik dalam presentasi beliau. Beliau seorang dokter dan diminta membahas 'cloning' dalam ceramah tersebut. Beliau menegaskan bahwa jelek
atau tidaknya 'cloning' tidak bisa dilihat dari satu sisi. Sebagai Buddhist,
kita harus bisa menelaah dari berbagai prospektif. Harus 'open minded'
(berpikiran terbuka). Bahkan dalam menjawab setiap pertanyaan dalam sesi tanya jawab, beliau selalu menggunakan Manggala Sutta. Begitu selesai conference, saya langsung pulang dan membuka kembali Manggala Sutta dan memastikan bahwa semuanya masih sama seperti yang saya baca; ternyata Manggala Sutta masih seperti dulu. Bhante Mettanando-lah yang menjadikan Manggala Sutta menjadi menarik karena mengaitkannya dengan Bio Technology dan Kehidupan Modern di abad ini.

Regards,
Jenty