Search this blog

Jul 23, 2018

Diantara anak dan jalan-jalan

Seoul, July 24, 2018

Lagi travelling ke wei hai. Transit di seoul, bukan ding, stop over. Karena naik korean air, bisa stop over tanpa biaya tambahan. Sekalian belanja kosmetik. LoL. Cuaca sedang panas-panasnya. Kemarin 35oC. Gerah. Saking gerahnya, ada perusahaan kosmetik korea yang mengeluarkan gel untuk bikin kulit adem. Ada aja ya ide kreatifnya.
Dhilan gak mau keluar hotel lagi sorenya. Lebih enak ngadem di hotel drpd kelayapan sightseing and nemenin emaknya shopping.

Trus aku cerita, karena pekerjaan papanya yang sering relokasi setiap 5 tahun, kami jadi sering travelling. Karena kebanyakan di 2nd tier (changsha) dan 3rd tier city (wei hai), tidak ada direct flight dari Jakarta. Seringnya harus transit di kota besar seperti hongkong, shanghai, beijing, guangzhou dan seoul (krn wei hai secara geografis lebih dekat ke seoul drpd ke beijing atau shanghai dan connecting flight lebih banyak ke wei hai drpd kedua kota tsb).

Travelling bersama anak-anak, yang paling penting bagiku adalah menjaga agar anakku tidak kecapekan. Karena kalau sakit, ngurusnya rempong. Dulu waktu Dhilan kecil, aku selalu pastikan tengah hari balik ke hotel agar dhilan bisa tidur siang. Sore lanjut lagi. Sekarang sudah abege, tetap gak bisa lanjut seharian. Sore tetap harus balik ke hotel. Kenapa? Karena abege cowok gampang bete kalau diajak muter-muter gak jelas.

Punya anak, adalah sebuah kebahagiaan bagi orangtua. Tapi ada banyak gaya hidup yang harus kita sesuaikan karena kehadiran anak di tengah keluarga memerlukan banyak cinta.
Aku cerita sama Dhilan, jaman ketika aku aktif sebagai sales di salah satu perusahaan swasta, aku akan membatalkan semua appointment kalau anakku sakit. Sebagai sales, appointment itu adalah potential rupiah yang masuk ke kantong. Anak tidak bisa dihitung dengan rupiah. Tidak fair juga menjadikan anak sakit sebagai alasan. Itu semua konsekuensi sebagai orangtua. Aku rela kehilangan potensi sales dan biasanya diikuti dengan uang, yang bakal kudapat karena bagiku, anakku jauh lebih penting.

Kita tidak bisa mengharapkan orang lain mengerti masalah kita hanya karena kita punya anak. Atau hanya karena anak kita masih kecil, kemudian kita minta belas kasihan orang lain. Kita juga perlu menjadi dewasa, bahwa hidup adalah pilihan. Aku tahu, jaman dulu, kerjaku tidak pernah maksimal di sales karena aku selalu meluangkan waktu untuk anakku. Menyempatkan waktu untuk menemaninya berenang di water park atau di komplek dekat rumah. Jaman anakku kecil adalah jaman emasku di sales. Ada beberapa kali aku dapat insentif perjalanan keluar negeri. Aku tahu sebenarnya, kalau saja jam kerjaku aku extend sampai malam seperti teman-temanku yang lain, hasilku akan jauh lebih bagus lagi. Tapi tidak ada penyesalan, karena anakku tumbuh begitu cepat, tiba-tiba tinggi badannya sudah melampauiku. Perasaan baru kemarin aku tenteng strokler kemana-mana.

Jaman Dhilan kecil, aku juga masih muda, well, jauh lebih muda belasan tahun daripada sekarang. Sebagai keluarga muda, umumnya kehidupan ekonomi juga masih belum seimbang, kebutuhan masih banyak sehingga kami berdua harus sama-sama bekerja agar kehidupan lebih nyaman.
Aku butuh pekerjaanku karena selain mendapatkan uang, juga memberikan ruang untuk eksistensi diri. Dan aku suka pekerjaan sebagai sales, ketemu banyak orang dan closing sales itu selalu bikin ketagihan.

Fast forward ke 2018, ketika anakku sudah hampir 15 tahun dan sudah tidak perlu digandeng lagi karena takut hilang, aku mau sharing satu hal, travelling itu tidak nyaman bagi anak-anak. Berpindah tempat, melihat pemandangan, sebenarnya tidak begitu penting bagi mereka. Anak-anak ingin bermain, mereka ingin nyaman. Bukan ditarik kemana-mana ngikutin emaknya. Tapi ya itu, gak bisa diikutin semua keinginan anak karena kita juga kudu ajarin mereka untuk toleransi juga ke orangtua yang demen travelling. Tinggal pembagian waktu jalan dan waktu istirahat aja yang diatur.