Search this blog

Mar 19, 2011

Pengalaman bersekolah di sekolah Buddhis

KL, June 22, 2003

Pengalaman saya bersekolah di Sekolah Buddhis dari SD dan SMP di
Jambi,proses belajar mengajar berlangsung seperti halnya sekolah biasa. Kelebihannya hanya karena adanya Pelajaran Agama Buddha dan karena berada
dalam kompleks vihara, seminggu sekali ada kebaktian massal yang dimana ada
absensi, so semua datang karena alasan tersebut. Guru-gurunya pun mayoritas
beragama Islam.

Labelnya memang Sekolah Buddhis, tetapi gurunya, belum tentu buddhis loh. Penting gak sih mendirikan Sekolah Buddhis, sedangkan sumber
daya manusia saja, tidak mencukupi? Sebagai guru, yang ada hanyalah keinginan untuk mengabdi dan menyumbangkan sesuatu ke masyarakat. Sementara dijaman ini, buddhis atau bukan, uang tetap menjadi sasaran utama.

Tentang pendidikan anak. Kalau para orang tua, concern dengan moral anak,
harusnya tidak mengandalkan sekolah untuk mengajarkan pendidikan moral ke
anak-anak. Pendidikan Agama Buddha yang ada saat ini di Indonesia, lebih fokus ke memberikan 'knowledge' semata, bukan pemahaman tentang ajaran Buddha. Cenderung theoritical. Berikut adalah cuplikan email yang saya terima dari teman saya di Jakarta tentang sekolah anaknya;
"... mau cerita nih tentang pelajaran agama Buddha. Gini anakku sekarang udah
kelas 1 SD, sengaja aku cari sekolah yang ada pelajaran Agama Buddhanya.
Sekarang dia baru mulai belajar agama dan tau-nya bahan pelajarannya susah
banget - itu menurutku. Catatannya semua hanya untuk hapalan. Kok kayaknya tidak seru, bayanganku, harusnya kalo baru kelas 1 mungkin pelajarannya dalam bentuk cerita-cerita agama yang seru-seru, sehingga tuh anak tidak bosan. Tau sendiri khan kalo istilah-istilah di agama Buddha memang rada sulit (bhs Pali). Selain pelajaran agama, ternyata pelajaran lain juga susah banget, kok beda ya.. dengan jaman dulu. Dan pusingnya semua lebih banyak hapalan...."

Semua orang tua anak mengharapkan yang terbaik buat anaknya. Tetapi apakah
kecemerlangan academic akan menjamin keberhasilan hidup mereka di kemudian hari nanti? Saat ini, selain IQ, EQ juga memainkan peranan yang tidak kalah besarnya.
Chinese School di Malaysia terkenal karena gurunya yang strict, pelajaran
tambahan yang berjibun dan juga PR-nya yang banyak. Ada teman saya di Malaysia yang mengeluh karena harus menemani anaknya yang berumur 7 tahun, mengerjakan PR sampai jam 12 malam! PR-nya terlalu banyak dan rumit, untuk setiap mata pelajaran, ada beberapa PR yang harus dikerjakan dan hal ini berlangsung hampir setiap hari. Sekarang pertanyaannya, apakah dengan sistem PR yang banyak dan pelajaran tambahan yang berjibun akan membuat anak lebih pintar dan tidak menjadi stress? Yang saya amati dari murid-murid saya, hidup mereka seperti overloaded, tidak ada waktu untuk bermain-main seperti halnya kebiasaan anak kecil. Senin-Jumat, sekolah umum plus pelajaran tambahan, plus kursus piano, ballet, tennis, swimming, etc. Sabtu ada kegiatan tambahan lain dan hari Minggu harus datang ke Vihara untuk Sekolah Minggu. Kasihan sekali yach anak kecil jaman sekarang, hampir tidak ada kehidupan sosialnya........ Jaman saya kecil dulu, masih ada waktu untuk main kelereng, lompat tali dan juga main air di kali di dekat rumah nenek saya........

Saya bukan 'teacher by profession', tetapi terbatas sebagai guru sekolah minggu
di vihara. Melihat anak-anak jaman sekarang, yang hanya karena AC di kelas
'tidak dingin', sudah complain panjang lebar dan melihat sendiri anak-anak yang
'enggan' berdana karena uang jajannya mau dipakai untuk membeli barang keperluan lain, setidaknya jadi 'mikir', anak kecil bisa memiliki pemikiran begitu, setidaknya juga karena pendidikan yang diterimanya di rumah. Tidak dipungkiri, karena alasan ekonomi, dimana kedua orang tua sibuk bekerja, banyak anak yang menghabiskan waktu lebih panjang dengan pembantu rumah tangga daripada dengan orang tuanya. Mungkin pola pikir pembantu sudah mencemari pola pikir anak-anak tersebut???

Dalam sesi dengan Chief Reverend Dhammananda hari Sabtu lalu, June 21, salah seorang guru BISDS mengeluh tentang kesulitan mengendalikan anak nakal di kelas yang selalu menganggu anak yang lain. Chief Reverend menjawab bahwa sebagai guru, kita tidak bisa mengharapkan keajaiban bahwa anak-anak akan berperilaku baik hanya karena mereka datang ke sekolah minggu atau hanya karena mereka buddhis. Peranan orang tua lebih penting dalam mendidik karakter mereka. Ada kecenderungan, orang tua anak mengharapkan 'miracle' dengan mengirimkan anaknya ke sekolah minggu, which is sesuatu yang mustahil!

Saran saya, daripada memulai sesuatu yang besar, dengan sumber daya terbatas,
kenapa tidak memulai sesuatu yang kecil tetapi dengan konsentrasi penuh dan
sesuai dengan keterbatasan waktu yang kita miliki. Tentunya semua tahu apa yang saya maksud; mengembangkan sekolah minggu buddhis di vihara masing-masing!!!
Menurut saya, untuk saat ini, banyak aktivis pemuda yang disaat kuliahnya aktif di organisasi tetapi menghilang karena mereka sibuk bekerja dan juga berumah tangga, sudah saatnya untuk kembali mengabdi ke masyarakat. Well, dengan menjadi guru sekolah minggu. Banyak sekolah minggu buddhis di Indonesia, saat ini hanya mengandalkan anak-anak muda untuk menjalankan sekolah minggu. Mereka perlu tenaga tambahan yang bersedia membantu. Kalau saja kita punya pool sukarelawan yang banyak, kita tidak perlu mengajar setiap minggu, mungkin 2x sebulan, which is fair enough. Sistem ini juga yang diterapkan di BISDS, dengan kurang lebih 150 guru, tidak setiap minggu kami sibuk mengajar, juga ada waktu break untuk kehidupan sosial dengan keluarga di hari minggu.

Informasi tambahan, kebanyakan yang mengajar di BISDS adalah ibu-ibu berumur 30-an, 40-an dan 50-an. Bahkan co-teacher saya seorang nenek berumur 63 tahun. Mayoritas mereka juga bekerja full time loch dari Senin-Jumat. Motivasi mereka untuk mengajar adalah karena keinginan untuk memberikan sesuatu ke perkembangan agama Buddha di Malaysia. (Menurut pengamatan saya pribadi, salah satu yang membuat mereka aktif adalah sistem recruitment yang agresif juga, at least, hal ini yang membuat saya terlibat di BISDS..........)

Mengenai buku text buddhis BISDS yang pernah ceritakan di milis ini, Sasana
Abhiwurdhi, yang menaungi BISDS Malaysia, memberikan ijin untuk mereproduksi buku-buku tersebut dengan satu syarat ringan; mereka minta di 'inform' tentang tujuan tersebut dan kalau ada yang berniat untuk menerjemahkan ke bahasa indonesia, mereka minta dikirimkan satu set copy dari hasil terjemahan tersebut.

Regards,
Jenty

1 comment: