Search this blog

Mar 19, 2011

Guru dan Pelajaran Agama Buddha???

Kuala Lumpur, June 12, 2003

Seru juga yach debat tentang UU Sisdiknas, tetapi sejauh ini saya lihat, itu
semua hanyalah sebatas debat yang tidak ada gunanya. Prihatin sich prihatin,
tapi karya yang nyata tidak ada.
Menurut laporan terbaru yang saya baca di kompas.com, katanya DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional untuk
disahkan menjadi undang-undang.
Dengan ini harusnya tenaga tambahan untuk menjadi guru pelajaran Agama Buddha akan meningkat. Apakah mereka siap menjadi guru? Apakah dari segi kurikulum sudah siap???

Menurut pengalaman saya sendiri sebagai guru sekolah minggu di BISDS; menghadapi anak-anak adalah sebuah tantangan tersendiri. Selain pengetahuan Dhamma, juga perlu kesabaran dan kedewasaan. Apalagi anak kecil jaman sekarang yang daya analisanya tajam sekali. Belum lagi yang nakal dan suka bikin heboh di kelas.......

Tentang KURIKULUM PELAJARAN AGAMA BUDDHA:
Sebagai perbandingan;
Kurikulum di Malaysia, hanya pelajaran agama Islam yang diajarkan di Sekolah dan murid Non-Islam belajar pendidikan moral. Sedangkan di Indonesia, pelajaran agama menjadi suatu keharusan, bahkan ada di kurikulum sekolah. Dan membandingkan kurikulum pelajaran agama buddha di Indonesia dan kurikulum pelajaran agama buddha di malaysia, sangatlah jauh berbeda.
Buku Pelajaran Agama Buddha untuk anak-anak SD di Malaysia penuh dengan gambar dan warna, cerita kehidupan Sang Buddha yang penuh warna, cerita jataka diselingi dengan diskusi yang menarik diakhir cerita, cross word puzzle, latihan mewarnai dan masih banyak lagi. Di Malaysia, pelajaran Agama Buddha diusahakan menjadi sesuatu yang 'fun', dimana anak-anak itu juga bisa bersosialisasi dengan baik. Tidak hanya monoton mendengarkan guru saja.
Sedangkan Buku Pelajaran Agama Buddha untuk anak-anak SD di Indonesia penuh dengan Bahasa Pali yang susah dimengerti dan ajaran-ajaran buddha seperti 4 Kesunyataan Mulia, yang rasanya masih terlalu dini untuk dimengerti oleh anak seumur mereka.... Mungkin kurikulum sekolah untuk pelajaran agama buddha untuk anak-anak perlu di update sedikit dan dipermudah.......
Dari beberapa teman di Indonesia yang sempat saya kirimkan buku-buku sekolah minggu dari Malaysia, umumnya bilang tentang respons positif dari anak-anaknya.
Terutama karena buku-buku tersebut penuh warna. Walaupun semuanya dalam Bahasa Inggris tetapi mereka menggunakan Simple English yang mudah dimengerti. Bagi yang berminat, buku-buku tersebut bisa dibeli di Maha Vihara Brickfields, 123, Jalan Berhala, Kuala Lumpur, Malaysia. Atau bisa check di website http://www.bisds.org/, tapi biasanya website ini agak terlambat diupdate......., lebih baik kalau ada yang berkunjung ke Malaysia bisa sekalian nitip karena ongkos kirimnya mahal sekali.


Tentang GURU SEKOLAH MINGGU:
Bulan Maret 2003 lalu, ketika pulang kampung ke Indonesia, saya mengunjungi 3 sekolah minggu di Indonesia; 2 di Jakarta dan 1 di Jambi. Menyedihkan sekali melihat kurangnya tenaga guru di vihara-vihara tersebut. Bahkan, di salah satu vihara tersebut, ada anak SMP yang menjadi guru sekolah minggu untuk anak SD. Hal ini karena kurangnya tenaga guru. Jangan bicara tentang kualitas guru, untuk kuantitas saja kita masih kurang.
Terbayang oleh saya, murid-murid di BISDS (Buddhist Institute of Sunday Dhamma School di Maha Vihara Brickfields, Malaysia), yang 'terkesan' mewah, karena memiliki tenaga sukarelawan guru yang begitu berdedikasi dan jumlahnya ratusan orang.
(FYI: Total murid di BISDS di thn 2003 sekitar 1200 murid dengan tenaga guru dan sukarelawan adminsitrasi sekitar 150-an. Dan kebanyakan dari sukarelawan ini adalah orangtua murid dan pensiunan yang ingin mengabdikan diri ke agama Buddha).
Kurikulum Sekolah Minggu disusun oleh pensiunan guru dan umat buddha yang cukup ahli dalam dhamma, dibawah pengawasan Chief Reverend Dr K. Sri Dhammananda.
Salah satu hal yang menjadi kunci suksesnya pengelolaan BISDS adalah support yang tiada hentinya dari Chief Reverend. Karena kerja keras beliau selama 50 tahun jugalah, agama Buddha di Malaysia bisa berkembang pesat seperti saat ini.
Dimasa mudanya dulu, beliau sendiri juga guru sekolah minggu di BISDS. Bahkan banyak sekali mantan muridnya yang sekarang menjadi guru. Terkadang mereka bercerita tentang memory indah waktu belajar di bawah pohon bodhi, di minggu pagi yang panas........

Sampai saat ini, Chief Reverend, diusianya yang ke 84-pun, Beliau selalu
meluangkan waktu untuk memotivasi guru sekolah minggu dengan meluangkan waktu setiap bulan untuk private session khusus tanya jawab seputar dhamma dan sunday school.

Di Indonesia, rasanya sudah cukup banyak orang tua anak yang mengenal dhamma dengan baik, memiliki latar belakang pendidikan yang lumayan. Bila mereka-mereka ini mau 'berbakti' dan kembali ke masyarakat dengan menjadi guru, rasanya kita tidak perlu risau akan kualitas moral generasi mendatang. Seperti yang diajarkan Buddha, Dhammadana adalah yang paling tinggi nilainya.


Regards,
Jenty

2 comments:

  1. Salam kenal bu Janti, kebetulan saya akan menyusun tesis dan saya ingin sekali mengulas tentang permasalahan kurikulum pendidikan agama buddha. mungkin dari ibu ada saran kiranya pendidikan buddhist seperti apa yang tepat untuk di terapkan di indonesia, baik pendidikan tingkat pra sekolah, dasar menengah dan atas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi, silent to peace, salam kenal juga. Saya rasa dari dulu semua selalu sibuk ngurusin kurikulum pendidikan agama Buddha. Sejak awal 2010 saya pindah ke China, jadi sudah tidak mengikuti perkembangan kurikulum pendidikan agama Buddha di Indonesia. Tetapi kalau seperti keinginan anda untuk menyusun tesis tentang hal ini, saya kira "urusan" ini masih tetap berkisar di seputar kurikulum ini.

      Saya bukan guru dan pengalaman saya sebagai guru hanya terbatas sebagai guru sekolah minggu. Tetapi saya melihat, banyak guru sekolah minggu dan guru-guru di sekolah umum yang mendidik anak dengan sistem "rewards and punishment". Kalau anaknya baik dan mendengarkan guru, akan diberikan penghargaan, dengan pujian ataupun hadiah. Dan ketika anaknya bandel, maka akan dihukum. Menurut saya sebagai orang tua, pendidikan itu adalah mendidik, bukan menghukum. Serahkan hukuman pada polisi.

      Pendidikan Buddhis yang tepat untuk diterapkan di indonesia? Saya tidak tahu, sekali lagi saya bukan ahli pendidikan. Tetapi pendidikan yang saya inginkan untuk anak saya adalah sebuah pemahaman tentang ajaran Buddha yang dapat merubah pola pikir anak dan anak dapat mengaitkan kehidupan sehari-hari dengan hukum kesunyataan yang diajarkan Buddha.
      Misalnya: "Teman saya nakal, meminjam barang saya tanpa permisi. Dan barang itu rusak akhirnya. Saya marah." Situasi seperti ini, bagaimana mengajarkan ke anak cara mengatasinya? Kaitkan dengan ajaran Buddha, sesuai dengan umur anak, bagaimana mengajarkannya? Kaitkan dengan hukum karma, hukum sebab akibat, etc.

      Teman saya bilang, di buku pelajaran Agama Buddha anaknya sekarang, masih berisi hapalan tentang hukum-hukum kesunyataan dan bahasa palinya. Persis seperti saya SD dulu. Anak SD diminta untuk menghapal bahasa Pali. Saya sendiri sampai sekarang tidak bisa mengingat lagi hapalan-hapalan bahasa Pali yang saya pelajari waktu SD, puluhan tahun yang lalu.

      Kreatiflah. Kurikulumnya harus kreatif, tidak baku, tidak kaku dan mendorong anak untuk tidak sekedar menghapal tetapi juga menggugah rasa ingin tahu lebih dalam. Seperti Buddha ajarkan kita untuk 'ehipassiko'.

      Delete